Ketika saya mengalami depresi yang sangat
parah, satu hal yang menyiksa saya adalah: penghakiman terhadap diri sendiri
(self judging). Terbiasa disalahkan menumbuhkan self guilty yang sangat kuat.
Saya kemudian berpikir kalau saya memang tidak layak. Akhirnya, saya berpikir
kalau dunia akan lebih baik tanpa kehadiran saya. Alangkah baiknya jika saya
bisa mati dan mengakhiri hidup saya yang tidak berguna.
|
Mengikat diri sendiri dengan self guilty dan self judgement. Foto: Pixabay.com |
Hingga kini, orang-orang masih suka menuduh
dan menghakimi saya. Semua kegagalan saya menjadi fokus mereka untuk
menyalahkan saya. Walau saya ingin berubah, mereka tetap menganggap saya
manusia gagal dan menyusahkan. Rasa sakit akibat disalahkan ini rupanya
membekas dalam pikiran saya. Kadangkala, saya masih merasa bersalah kalau
kesaksian maupun konseling kepada pendeta saya. Saya menganggap, saya salah
kalau menceritakan perbuatan orang-orang. Saya tidak mau menjadi pendendam yang
menghakimi mereka.
Perasaan ini sangat mengganggu. Ketika
perlakuan orang di sekitar sangat membuat tidak nyaman, saya malah menganggap
konseling dan bercerita adalah sebuah perbuatan yang jahat. Saya merasa jadi
orang jahat yang membicarakan keburukan orang di belakangnya.
Ini sangat menyakitkan.
Syukurnya, Tuhan itu baik. Ketika saya curhat
pada sahabat saya, Dhiko Surya Perdana, kata-kata Dhiko kemudian menyadarkan
saya:
“Hancurkan self guilt dengan keegoisan untuk
kuat.”
Egois ini sebenarnya adalah hal yang saya
hindari. Lagi-lagi, saya merasa jahat kalau egois. Saya merasa berdosa jika
memperhatikan perasaan dan kenyamanan saya, termasuk kesehatan jiwa saya
sendiri.
Di sinilah, saya kemudian sadar: self guilty
dan self judgement ini sudah membelenggu saya selama bertahun-tahun.
Saya harus bebas! Saya harus lepas! Ini
muncul dalam pikiran saya dan akhirnya memicu keinginan saya untuk berubah.
Saya harus mengubah pola pikir saya. Jika
tidak, saya akan kembali pada kondisi saya yang sakit dulu.
Saat itu, Dhiko mengatakan kepada saya: self
guilty hanya muncul di 2 jenis orang:
(1) Yang
super baik, humble, dan merasa beban dunia itu ada karena dia.
(2) Yang
kacau karena dari dulu lingkungan menempelkan label ‘salahmu’ secara berulang-ulang.
|
Terikat oleh pendapat orang. Foto: Pixabay.com |
Dhiko juga menjelaskan, 2 tipe orang ini sama-sama menghadapi tekanan
yang sama, yakni dari bacot-bacot sok suci dan benar tanpa peduli perasaan
orang.
Sayangnya, satu-satunya jalan agar bisa bebas
dari self guilty dan self judgement ini memang IGNORANCE (pengabaian). Mau
orang bilang apa, terserah. Mau dibilang penjahat, ya … sudah. Yang penting,
kita memiliki keuntungan dan tidak merugikan orang lain.
JADI SEHAT itu juga penting.
Kalau ada orang mulai membebankan sesuatu
yang menyusah-nyusahkan, ada waktunya kita berpikir, “Ini bukan urusan
gue.” Lalu, ketika ada orang-orang super
baik yang menolong tanpa memaksakan kehendak, kita perlu mengingat budinya.
Memiliki prinsip dalam sikap dan perilaku itu
perlu dalam menghadapi para ‘polisi moral’. Dengan demikian, kita tidak akan
bingung dan goyah.
Ngomong-ngomong, saya menuliskan kembali chat
saya dengan Dhiko di sini. siapa tahu, ada teman-teman yang menghadapi masalah
yang sama dengan saya J
Dhiko ini seorang terapis psikologi. Kalau
kalian punya masalah dan butuh konseling, bisa menggunakan jasa profesional
Dhiko.
Kalian bisa menghubungi Dhiko langsung di
sini:
Semoga saja artikel ini bermanfaat. Saya pun
masih berusaha untuk berubah dan menjadi lebih baik.
|
Hidup ini hanya milik Tuhan. Bukan milik orang lain. Foto: pixabay.com |
Semoga kita semua diberi kesehatan dan
kemudahan.
Tuhan memberkati.
Penulis:
Putu
Felisia.
Novelis
dan blogger.
Aku lumayan sering merasa self guilty gitu, Fel. Dan Dhiko bener soal ignorance itu. Kita toh nggak bisa ngikutin semua kemauan dan ujaran orang.
BalasHapus