Cerpen fantasi kontemporer dari dongeng Peter Pan. Selamat membaca 💓
Jujur saja, aku sama
sekali tidak menyukai hari ulang tahun. Disaat semua teman-teman sekolahku
merayakan ulang tahun di balik kue tart bertingkat, pesta luar biasa meriah,
atau seorang cowok yang menemani mereka, aku hanya merayakan hari ulang tahunku
di dalam kamar. Ibu akan lembur mengerjakan kebaya, sementara di sore hari,
ayah akan datang, mengecup keningku dan memberikan sepotong kue tart kecil yang
dibeli di kios dekat tempat dagang ayah di pasar.
Sama sekali tidak
mengesankan bagiku. Meski begitu, yang aku herankan, mengapa tiap malam sebelum
ulang tahunku, ibu selalu berkisah kepadaku. Dongeng tentang seorang anak
laki-laki bernama Peter Pan.
Seharusnya anak-anak
perempuan mendengar dongeng Cinderella, bukan? Namun ibu dengan tenangnya,
setelah dia menyelesaikan jahitan pesanan, dia akan datang ke kamar dan
membelai kepalaku sambil menceritakan petualangan si bocah yang tak pernah
bertambah tua tersebut.
Entah apakah malam ini
ibu akan kembali mengisahkan cerita itu lagi. Aku telah terlalu bosan. Meski
mungkin pada masa kecilku aku masih terkesima mendengarnya. Mendengar sebuah
negeri bernama Neverland dengan anak-anak hilang yang tidak pernah tumbuh
dewasa (atau tepatnya menua).
Aku merasakan hawa
dingin menelusup ke kaki, lalu menarik selimutku ke atas. Bulan purnama
menggantung di langit yang cerah. Ibu tidak kunjung muncul. Aku sempat mendesah
gusar saat melihat jam di dinding. Pukul sepuluh tiga puluh. Mungkin kali ini
jahitannya menumpuk. Aku mencoba tetap berpikir positif ketika sesuatu datang
menarik selimutku.
Apa-apaan ini? Aku
mendumal setengah mengantuk, mencoba menarik selimutku kembali, namun ketika
aku menarik selimutku lagi, aku merasakan sesuatu itu melakukan perlawanan.
Singkatnya, kami seperti sedang melakukan lomba tarik tambang, euh… selimut.
Dimana aku sama sekali tidak mau mengalah. Dengan mengumpulkan segenap
tenagaku, aku mencengkeram selimut itu kuat-kuat lalu dalam sebuah tarikan
panjang, aku mengerahkan kekuatanku melawannya.
Aku mendengar suara bruk! kecil. Lalu secara refleks, aku
bangkit dan menuju arah suara. Sebuah bayangan hitam pekat menggosok-gosok
kepala dengan penampakan kesal. Sebelum berdiri dan berkacak pinggang di
depanku.
Hanya dalam beberapa
detik, sebelum aku sempat terkejut, berteriak, atau berlari keluar, seorang
anak laki-laki mendarat di dekat bayangan usil itu, menangkap bayangan itu,
lalu memutar badan. Aku melihat kilau mata birunya menatapku ramah. Nyaris saja
aku berteriak, namun tangan anak itu buru-buru membekap mulutku.
“Sst! Kamu bisa
membangunkan semuanya,” wajahnya terlihat khawatir saat itu, “Wen—euh, ibumu
baru saja tertidur di atas mesin jahit. Kasihan.”
“Kamu tahu ibuku?” aku
berkata ketika dia membebaskan aku. Masih agak heran, namun anak laki-laki itu
terlihat tidak terlalu mengintimidasi.
“Tentu saja aku tahu.”
“Siapa kamu? Kenapa
malam-malam begini datang ke kamarku?” aku mencoba memberanikan diri dan
menegaskan nada suaraku. Kupandangi anak itu dari atas ke bawah. Sulur-sulur halus
bagai jarring laba-laba. Warna coklat merah dedaunan musim gugur membentuk
pakaiannya yang terlihat ganjil, namun entah mengapa membentuk tubuhnya dengan
baik, seolah menegaskan kalau anak yang memakainya adalah anak liar yang
memiliki pesona yang tidak akan pernah dimiliki anak seusianya.
“Apa kamu lupa, Jane Elvira?”
dia berkata sambil tertawa. Entah mengapa dalam tawanya ada sesuatu yang
familier. Begitu akrab sehingga aku berpikir kalau aku pernah menyusupkan
tanganku ke dalam ikal rambut emasnya. Itu adalah kenangan masa kecilku. Masa
kecil saat impian terasa bagai kenyataan. Atau ternyata, memang mimpi itu
adalah kenyataan.
“Aku tidak pernah
lupa.”
“Peter Pan—“ aku
menganga. Belum sempat menyelesaikan kalimatku saat tangan kecil anak itu
menarik tanganku, dan begitu saja membawaku naik… menembus jendela. Tangannya
masih kokoh seperti dulu, atau mungkin lebih kokoh, karena aku begitu saja
melayang bagaikan kapas. Jauh meninggalkan kamarku.
***
Jam raksasa di tengah
awan, langit bersih hanya bintang-bintang. Aku tidak percaya ini. Lautan
berkilauan, kapal besar bercahaya. Ini pasti benar-benar mimpi. Meski begitu,
aku mencoba mencubit tanganku yang kemudian agak terasa sakit.
Aku melihatnya,
sekumpulan anak-anak kecil yang tak pernah menua, tidur-tiduran di sebuah
padang rumput yang luas. Anak berambut ikal keemasan itu membimbingku mendekat
ke sekumpulan anak-anak yang rupanya semua mengenalku.
“Jane!” semua berteriak
dengan kompak, “Mengapa lama sekali, Peter? Kami semua merindukan dia.”
Dia memang Peter Pan.
Anak laki-laki yang selalu kudengar dari dongeng ibu. Namun aku sungguh heran
mengapa anak ini tiba-tiba mewujud nyata di depanku. Bersama Neverland—negeri
dongeng dan anak-anak hilang The Lost Boys. Yang lebih aneh lagi, mengapa
mereka semua mengenalku?
“Aku mau pulang,” aku
mendesis marah. Pandangan mataku tertuju kepada Peter Pan yang hanya
cengengesan membalas, “Apa kamu yakin?” dia menantang, “Biasanya kamu senang
sekali disini, benar kan, guys? She was
very interested in here, right?”
“Iya, tentu saja,”
seorang anak yang berusia paling muda menyambung perkataan Peter, “Kamu selalu
senang saat kita berlayar mengarungi laut, atau terbang dengan bubuk Tink.
Tinker Bell kalau kamu ingat. Peri sombong yang selalu mengambek kalau kamu datang.”
“Aku bukan tukang
khayal!”
“Hei!” Peter berteriak
agak tersinggung, “Jangan berkata yang tidak-tidak di malam ulang tahunmu! Ayo
kita berlayar! Yihaaa!”
“Kelihatannya kita
sudah lama tidak mengganggu Hook!” salah satu anak berkata, “Ayo kita buat dia
kesal!”
“Kalian semua gila!”
gertakku. Namun anak-anak itu semakin bersemangat menarik tanganku memasuki
kapal besar itu. Ombak bergulung-gulung di lautan hitam di bawah kami. Anak
yang kelihatan paling tua memegang kemudi. Dan Peter, dengan senyuman
sumringahnya berdiri di sebelahku.
“Kamu siap?”
“Ini semua gila! Aku
mau pulang!”
“Lama-lama kamu makin
membosankan, deh. Aku kangen dengan anak perempuan yang selalu senang saat
kemari.”
“Masalahnya aku sudah
bukan anak-anak lagi, Peter.”
Sebuah senyuman getir
kini hadir di wajah Peter. Kelihatannya dia agak tersinggung mendengar
kalimatku. Aku tidak heran, karena entah mengapa penyesalan di hatiku muncul
bagai sumbatan batu besar. Seharusnya aku tidak mengatakan hal itu kepadanya.
***
Aku terpaksa ikut
melawan gerombolan bajak laut itu jika tidak ingin tertangkap. Anak-anak itu tidak
main-main saat mengatakan akan mengganggu Kapten Hook. Mereka benar-benar
berperang. Menembakkan meriam, mengayunkan pedang, menembakkan senapan, dan
semua teriakan girang membahana di udara.
Peter melampiaskan
kekesalannya dalam perkelahian melawan anak buah Kapten Hook. Semua lawan dia
hajar tanpa ampun. Tanpa berusaha meredam pukulan, tendangan, atau tebasan
pedang di tangan. Anak buah kapten bajak laut itu berjatuhan satu-persatu dan
hanya meratapi kesialan mereka berurusan dengan Peter Pan malam ini. Sedangkan
Sang Kapten lebih tampak enggan melayani Peter.
“Oh, ayolah Peter. Apakah
kamu nggak bosan melakukan ini terus?” dia berkata sambil menangkis tebasan
pedang Peter dengan mata kail di tangan kanannya, “Zaman telah berubah. Semua
berubah. Kita telah terlupakan, apa kamu nggak sadar akan hal itu?”
“Nggak ada yang
berubah,” Peter menyeringai, “Zaman boleh berubah, tapi kita masih ada, Hook.”
“Ada dan terlupakan.
Lihatlah dia,” Hook menunjuk aku, “Anak perempuan itu, apakah dia mengingatmu?
Tidak, Peter. Bagi dia, kita hanya bagian dari sebuah buku yang usang!”
Aku mengatupkan bibir.
Kata-kata Kapten Hook itu seakan-akan menyilet hatiku.
***
Neverland,
7 tahun yang lalu.
Aku menikmati permainan
ini. Neverland adalah dunia penuh tawa dan keceriaan masa kanak-kanak. Aku
menyukai semuanya. Menyukai kehijauan hutan atau langitnya yang ajaib. Lebih
dari semua itu, aku menyukai seorang anak bernama Peter Pan. Dia sahabat yang
terlalu baik. Sahabat yang terlalu setia hingga aku malah menganggapnya sebagai
khayalan.
“Apakah kamu
benar-benar tidak akan melupakan aku?” dia berkata. Sinar matahari menyeruak ke
atas rumput dan bunga-bunga tempat kami berbaring. Langit di atas masih
berwarna merah muda. Persis gulali yang manis. Kata anak-anak disini, langit
dan semua suasana di Neverland tergantung dari suasana hati Peter.
“Aku janji, Peter,” aku
tersenyum. Agak terlena dengan suasana di tempat itu. kedua mata hijau Peter
menatapku, namun entah mengapa, aku merasakan ada kesedihan disana.
“Aku sering mendengar
itu, Jane Elvira.”
“Apa?”
“Sebuah janji. Tidak
akan melupakan aku. Namun janji hanya sebuah janji. Sesuatu yang sulit
dibuktikan, terlebih dengan berlalunya waktu.”
Peter membawaku
bangkit, lalu mengajak aku ke sebuah pohon tua. Bisa kulihat getaran di tangan
Peter saat mengetuk batang raksasa pohon itu, memunculkan sebuah lukisan yang
terlihat hidup. Lukisan seorang anak gadis yang perlahan-lahan menua,
menghilang, lalu muncul lagi dengan wujud yang berbeda. Begitu seterusnya. Aku
tahu itu adalah orang yang sama, karena semua wujud disana memiliki tanda lahir
berbentuk daun di atas telapak tangan mereka.
Anak perempuan yang
selalu dinantikan Peter sepanjang hidupnya.
Wendy.
“Hanya aku, yang tidak
pernah lupa. Aku tidak pernah lupa.”
***
“Aku minta maaf,” aku meraih
wajah Peter, mengusap luka di pipinya yang kini perlahan sembuh oleh kekuatan
sihir. Wajah Peter masih tampak sedih, walau tadi dia sempat tertawa melihat
Kapten Hook dikejar-kejar buaya. Dia malah masih sempat berteriak agar sang buaya
menelan bajak laut itu sekali lagi.
“Kehidupan dunia nggak
seindah dunia dongeng,” aku berkata lemah. Masa remaja menggantikan masa
kanak-kanak. Hubungan persahabatan yang rapuh, ketidak mampuan keluargaku
secara materi, pelajaran-pelajaran yang kian berat, tuntutan UAN, terlalu
banyak yang harus diingat. Terlalu banyak sehingga perlahan-lahan ingatan
melupakan sesuatu yang amat penting. Seperti kebahagiaan.
“Aku benar-benar minta
maaf.”
“Kamu nggak salah, Jane.
Kehidupan dunia memang nggak seindah dunia dongeng.”
“Tapi itu bukan berarti
aku berhak melupakanmu.”
Peter tertawa, “Ada
satu hal yang lebih tak berhak kamu lakukan.”
“Apa itu?”
“Tidak berbahagia.”
Kali ini aku yang
tertawa. Peter membaringkan tubuhnya di atas rumput. Matahari mulai bersinar
putih lembut bagai mutiara. Sementara langit kembali terlihat bak gulali. Sama
seperti tujuh tahun yang lalu.
“Kenapa banyak orang
yang tidak bahagia setelah melewati masa kanak-kanak?”
“Entahlah, Peter,” aku
ikut membaringkan diri di dekatnya, “Terkadang aku merasa, tuntutan dunia
memang terlalu menyesakkan.”
“Namun dunia tidak
pernah melarangmu berbahagia.”
“Kamu benar.”
“Apa kamu tidak ingin
tinggal disini?” Peter kini menelengkan kepala melihatku. Aku hanya tersenyum
membalasnya, “Aku memiliki kehidupan sendiri, Peter.”
“Itu sesuatu yang tidak
aku miliki.” Ada nada sarkastis dalam suara Peter. Namun dia tertawa, “Karena
itulah dia pergi. Dia bilang kalau diantara kesesakan dunia, dia masih
bersyukur masih memiliki sesuatu tempatnya berpegang.”
Aku tersenyum.
“Ini adalah saat
terakhir aku bisa bertemu denganmu, Jane. Saat usiamu sudah tujuh belas tahun,
dan gerbang kedewasaan mulai terbuka. Aku akan menghilang.”
Kedua mata Peter
terlihat jauh lebih sedih dari sebelumnya. Aku memeluk erat anak laki-laki itu
sebelum berkata dengan segenap ketulusan yang kumiliki,
“Aku akan merindukanmu,
Peter Pan.”
***
Aku menjejakkan kakiku
tepat di waktu fajar. Peter Pan menghilang setelah menjelma menjadi pasir-pasir
cahaya. Aku merasakan cairan hangat membasahi mataku. Dan menangis tanpa tahu
sebabnya.
Ibu datang membawa
selembar gaun hijau lumut terindah yang pernah kulihat. Aku baru sadar kalau
gaun itu adalah gaun yang dia kerjakan kemarin hingga tertidur di mesin jahit.
Ibu masih terlihat lelah saat membelai rambutku sebelum berkata, “Selamat ulang
tahun, sayang. Mimpi indah malam kemarin?”
Aku melihat senyuman
ganjil di bibir ibu, namun aku menggeleng. Kekecewaan terlihat di wajah ibu.
“Kehidupan memang sama
sekali tidak indah, sayang. Namun ada saatnya kita berhadapan dengan jutaan masalah
dan kemudian saat kita melihat setitik kebahagiaan, saat itu kita bersyukur
bahwa kita hidup.”
“Apa maksud ibu?”
Ibu mengelus rambutku
lagi. Dia mengecup keningku lalu berkata, “Menjadi dewasa adalah pilihan,
sayang. Dan aku bersyukur kamu memiliki keberanian untuk itu. Menjadi dewasa.”
Perlahan-lahan, dengan
langkah anggun, ibu melangkah menuju jendela, membuka tirainya dan membiarkan
cahaya matahari menyinari sosoknya dari atas ke bawah. Aku melihat ada
bagian-bagian putih di rambut panjang ibu, kerut-kerut halus di wajahnya, namun
entah mengapa ibu justru terlihat cantik dan menawan.
“Berkali-kali
berhadapan dengan pilihan itu, aku akan tetap memilih hal yang sama, Jane,” dia
berkata lembut, “Bertambah usia, menjadi dewasa, menikah, memiliki keluarga,
memiliki seorang anak, sepertimu.”
Aku menghela nafas,
sepertinya mulai mengerti arah pembicaraan ibu.
“Apakah dia masih
seperti yang dulu, Jane? Suatu saat aku berharap aku bisa melihatnya, namun
sepertinya itu tidak mungkin di kehidupanku yang sekarang.”
“Melihat siapa, ibu?
Peter?”
Ibu mengangguk. Sebelah
tangan ibu menyibakkan rambut di dahinya. Dan saat itu aku melihat sebuah tanda
lahir yang familier. Sebuah tanda cantik berbentuk daun musim gugur. Seperti
tanda lahir anak di pohon tua itu. Anak yang berkali-kali dewasa dan menua.
Anak yang dinantikan dan dirindukan Peter sepanjang keabadiannya.
Saat itulah aku baru
mengingat nama lengkap ibu.
Wendy Nathalia.
“Aku
tidak pernah lupa.”Peter berkata, “Aku tidak akan pernah melupakan Wendy-ku.”
Catatan: Peter Pan adalah sebuah
karakter yang ditulis oleh J.M.Barrie, novelis asal Skotlandia, dan telah
banyak dipopulerkan dalam berbagai karya sastra, teater, maupun diadaptasi ke
dalam film.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)