“Pena adalah alat yang tak pernah lekang.”
Dewi “Dee” Lestari
Perlu keberanian yang besar untuk bertekun dalam
kepenulisan. Sebuah profesi yang sunyi, tanpa jaminan kesejahteraan, belum
persaingan gila-gilaan, dan minim penghargaan. Karena ini pula, saya sendiri
beberapa kali maju mundur. Maunya ganti profesi jadi dagang sate aja, tapi
sayang… kehidupan tanpa menulis itu hambar. Ibaratnya kehilangan pacar. Jiwa
nelangsa. Hati hampa tanpa impian. Eaaa…
Ketika saya membaca kata-kata Pramoedya Ananta Toer
kembali, “Orang boleh pandai setinggi
langit, tapi selama dia tidak menulis. Ia akan hilang di dalam masyarakat dan
dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Saat itu saya
tercenung. Satu pikiran mendadak terlintas dalam kepala, bahwa sejatinya para
penulis adalah orang-orang yang dipercaya Tuhan untuk menggerakkan peradaban.
Membawa karya-karya yang mencerahkan banyak jiwa.
TAPI KENAPA BANYAK PENULIS YANG NASIBNYA NGENES?
Harus diakui, tidak semua penulis beruntung seperti
penulis-penulis best seller. Tidak
semua penulis bukunya ludes sebelum tutup PO. Tidak semua penulis bisa
merasakan bukunya dicetak ulang sampai lima puluh kali lebih. Tidak semua
penulis menerima orderan naskah dari penerbit, atau novel di-acc padahal baru judul doang.
Intinya, profesi penulis tidaklah seseksi
kelihatannya. Profesi ini tidak menjanjikan kesejahteraan atau kemakmuran.
Kecuali si penulis sudah jadi langganan best
seller dan punya banyak fans.
Adanya kongres perdana yang didukung langsung oleh
BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif milik pemerintah) bak angin segar di padang
tandus. SATUPENA menjadi nama yang sakral. Ibaratnya, dengan sekian banyak
penulis, sekian banyak genre, sekian banyak perbedaan usia, para penulis ingin
mempersatukan visi dan misi. Untuk mencapai kemajuan bersama. INI ADALAH SATU
KABAR YANG LUAR BIASA!!!
Seperti diketahui, para penulis biasanya memiliki
ego sendiri. Apalagi, yang tergolong penulis senior atau penulis best seller. Tapi dengan adanya
SATUPENA, para penulis bahu membahu menyingkirkan ego untuk menyuarakan
aspirasi dan opini hingga solusi demi terwujudnya dunia literasi yang lebih
baik.
Pajak royalti menjadi bahasan utama yang
dikemukakan. Untuk profesi yang tidak tercantum dalam formulir pengisian KTP
*bold italic underline* pajak penulis
tergolong sangat besar, yakni sekitar 15-30%. Silakan dihitung sendiri
besarannya. Yang jelas, potongan penghasilan untuk pajak itu cukup bikin gigit
jari. Saya sendiri pernah membayar pajak sekitar 1-2 juta Rupiah untuk satu
buku. Kira-kira uang itu bisa buat bayar SPP beberapa bulan, lah… *penting
banget*. Gimana orang mau jadi penulis kalau pajaknya mencekik begini?
Hal ini akan menjadi sebuah PR besar bagi SATUPENA
nantinya. Selain PR-PR lain yang selama ini menjadi permasalahan penulis. Masalah
riset, promosi, kehumasan, dan lain-lain juga dibahas dalam divisi-divisi yang
dibentuk. Masing-masing divisi yang nantinya membuat program-program untuk
membantu penulis menggemakan karya dan merawat pembaca.
Harapan-harapan besar kini tergantung di bahu Ketua SATUPENA,
Bapak Nasir Tamara. Yang dengan
pengalamannya dipercaya menumbuhkan SATUPENA menjadi organisasi yang solid dan menjadi berkat bagi para
penulis. Bersama Ibu Imelda Akmal, dan
semua pengurus yang terpilih… semoga SATUPENA bisa menjadi terobosan baru.
Memayungi penulis-penulis hingga profesi ini terangkat dan tidak sekadar
dipandang sebelah mata.
Selamat bekerja, SATUPENA! Selamat bertugas, Pak Nasir dan Bu Imelda.
Astungkara…
Berikutnya : Online
VS Offline, Daud VS Goliath (?)
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)