Suatu malam, seorang perempuan termenung di depan pintu.
Suami dan anak-anaknya tertidur pulas. Dia menghubungi orang-orang yang
terlintas di kepala. Orang tua, kerabat, teman, hingga mereka yang ‘berjanji’
siap menjadi tempat curhat. Tapi nihil. Tiada satu pun dari mereka ada. Tentu
karena ini sudah lewat jam sepuluh malam. Sudah saatnya tidur, bukan?
Tapi perempuan itu tak bisa tidur!
Bagaimana pikirannya bisa tenang, saat suaminya baru
membicarakan perceraian?
“Aku nggak berani hidup sama kamu,” katanya, “Seperti kata
dokter, suatu saat pasti kambuh. Aku nggak mau hidup sama bom waktu.”
Dia masih menjalani pengobatan. Dia masih berusaha bangkit.
Tapi perkataan itu seolah memaksanya mundur lagi. Dia menggigil. Menimbang
apakah harus menenggak obat penenang sebanyak-banyaknya. Dia ingin melakukan latihan
pembebasan trauma seperti saran psikolognya. Tapi untuk apa?
Suaminya tidak menginginkannya lagi. Mertuanya mengasuh
anak-anak dengan baik. Apa yang terjadi kalau dia tidak ada di dunia? Tidak
akan ada yang berubah, bukan? Dunia ini tidak perlu dirinya. Dia hanyalah
sebuah bom waktu yang membebani hidup banyak orang. Dia heran, kenapa dia masih
hidup. Padahal kehadirannya tidak berarti.
Perempuan itu menangis. Dia menjerit memanggil Tuhan. Tapi
malam begitu gelap. Bahkan bintang enggan berkedip untuknya. Penghakiman semua
orang bahwa dia lemah dan tidak becus berputar-putar di benaknya. Dia memandang
gerbang, berpikir akan ke jalan raya untuk mencari truk yang bisa menggilas
kepalanya. Dengan demikian, dia tidak akan menjadi bom waktu lagi, kan?
Orang-orang akan bersyukur, beban mereka terangkat. Seperti sampah, dia harus
dibuang. Dia harus mati. Maka dunia akan lebih baik.
Begitu, bukan?
Tapi ponselnya berbunyi. Sebuah pesan Whatsapp sampai kepadanya:
Hai! Apa kabar? Udah
tidur belum? :)
Perempuan itu tertegun. Kaget karena masih ada yang
mengingatnya. Ternyata itu seorang sahabat dari jauh. Suatu kebetulan yang
ajaib, malam ini sang sahabat juga tidak bisa tidur. Yang di sini galau diajak
membicarakan perceraian, yang di sana terlalu nervous karena esok hari pernikahannya.
Meskipun keadaan begitu kontras, sang sahabat tidak serta
merta memberondong si perempuan dengan nasihat sepanjang kereta api. Tidak sekali
pun perempuan itu mendengar sahabatnya berkata, “Harusnya kamu begini”,
“Makanya kamu jangan begitu”. Sahabatnya hanya mendengarkan. Lebih tepatnya,
membaca :)
Cerita pun meluncur dalam percakapan Whatsapp itu. Perempuan itu bercerita sambil menangis. Sang sahabat
mendengar sambil bertanya: Apa yang bisa kubantu? Apa yang kamu perlukan? Dia
mencarikan nomor telepon. Dia mencarikan informasi konseling. Percakapan
berlangsung hingga dini hari. Di akhir percakapan, sang sahabat mendoakan
semoga perempuan itu menemukan solusi.
Hingga kini, perempuan itu bersyukur… malam itu ada seorang
sahabat yang hadir untuknya. Sahabat yang mendengarkan dengan sabar. Sahabat
yang memilih bertanya, alih-alih memberi ceramah agama.
Sahabat itu telah mengubah hidup sang perempuan.
Lebih tepatnya, dia
menyelamatkan hidup perempuan itu.
***
Tidak bisa dipungkiri, di Indonesia, penyakit apapun yang
berkaitan dengan pikiran akan dianggap remeh. Bahkan dalam keluarga sendiri,
hal itu dianggap aib. Gangguan kejiwaan dianggap kalah keren dengan penyakit
kanker atau jantung. Padahal, sama seperti kanker dan penyakit berbahaya lain,
orang bertaruh dengan nyawa. Tidak ada yang tahu, kapan keinginan bunuh diri
akan hinggap pada penderita.
Tidak banyak yang mau mengakui, depresi maupun gangguan jiwa termasuk silent
killer. Fakta lain mengenai depresi adalah: berbeda dengan diabetes yang bisa diatasi dengan
puasa gula, atau sakit jantung/darah tinggi yang bisa ditahan dengan diet
seimbang, depresi tidak bisa ditekan dengan diet cacian atau puasa tekanan
hidup.
Gula dan lemak jahat bisa dicegah masuk tubuh. Bagaimana
dengan omelan, kenyinyiran, caci maki, pelecehan, perundungan, penyiksaan
fisik? Apa semudah itu bisa dicegah masuk otak? Kira-kira apa yang harus
dilakukan penderita depresi saat orang lain marah-marah? Pasang earset? Yang ada mungkin si penderita
makin dirisak.
Perlu diketahui, depresi itu berbeda dengan stress.
Depresi adalah suatu episode kesedihan atau perasaan apatis
yang berbarengan dengan simpton-simpton lain yang berlangsung terus menerus
selama dua minggu atau lebih, dan akhirnya memegaruhi aktivitas sehari-hari. Depresi
tidak menandakan seseorang itu lemah atau berkepribadian buruk. Depresi adalah
masalah kesehatan umum dan gangguan yang bisa dirawat dan diobati.
Gejala-gejala umum dari depresi adalah: suasana hati sedih,
kehilangan niat hidup. Penderita juga dihantui perasaan bersalah atau tak
berharga, hilang harapan, dan mulai memikirkan kematian atau bunuh diri.
Karena saya bukan praktisi, maka lebih baik baca langsung selengkapnya
di sini. Biar lebih jelas.
Meski penyebabnya masih menjadi perdebatan di kalangan
medis, tapi saya bisa mengatakan dengan lantang: TIDAK ADA ORANG NGAREP SUPAYA
DEPRESI.
Hei, memangnya depresi itu seenak makan pizza atau ayam goreng kentaki apa? Atau semenarik naik roller coaster, gitu? Nggak… atuh, Brosis. Depresi itu
penyakit. Seriously, bukan hal yang
sengaja diundang buat sekadar caper.
Amit-amit. Kalau memang ada orang caper
dengan pura-pura depresi, artinya orang itu bodoh sekali. Biarlah dia mencari
masalah sendiri.
Sama seperti kita nggak bisa milih lahir di keluarga mana
(tolong jangan serang dengan ayat perjanjian dengan Tuhan yang kita setujui
sebelum lahir, soalnya saya nggak inget (emangnya situ inget?)), kita nggak
tahu akan memiliki orang tua pengasih atau pemarah, teman-teman sekolah baik
atau berengsek. Kita nggak tahu bakalan punya bos perfect ala CEO Wattpad yang
romantis, atau malah kayak raksasa yang
mau menerkam Timun Mas. Kita nggak tahu, kita bakal menikah dengan suami
penyayang ala novel-novel hisrom,
atau malah laki-laki yang gagal mengikuti jejak Mike Tyson, hingga akhirnya
selalu praktik tinju dengan samsak wajah istrinya. Sama seperti para lelaki
tidak tahu bakal ketemu istri lemah lembut dan manut ala Cinderella, atau malah istri galak yang menyaingi ibu tiri. Atau
istri yang terobsesi jadi Syahrini, hingga cuci piring saja takut kukunya
rusak. Belum uang belanja tasnya puluhan juta, lagi.
Kita nggak tahu bakal bertetangga dengan tetangga baik hati
atau penggosip. Kita nggak tahu akan dapat mertua yang seperti apa, ipar yang
seperti apa,anak yang seperti apa, menantu yang seperti apa…
Sama seperti kita nggak tahu bakal punya body seperti apa, mata seperti apa,
mulut seperti apa, tangan seperti apa, STRUKTUR OTAK seperti apa.
Karena itu, penderita depresi tidak pernah tahu, tekanan
hidup apa yang akan menerjangnya. Dia juga nggak tahu, kalau struktur otak dan
kemampuannya berbeda dari orang lain. Terlebih lagi, orang-orang di sekeliling
selalu mengagung-agungkan stigma, “Gue
aja bisa, masa elo nggak”. Seakan-akan, kemampuan semua orang sama rata.
Pikiran orang sama semua. Apalagi belakangan muncul kata-kata mutiara dari
seorang motivator kondang, “Jika kamu lunak pada dirimu sendiri, maka dunia
akan keras padamu. Sebaliknya, jika kamu keras pada dirimu sendiri, maka dunia
akan lunak kepadamu”.
Nah, kata-kata dan stigma seperti inilah yang kemudian
membuat seorang penderita, alih-alih meminta pertolongan, dia memilih untuk
memaksa dirinya untuk bisa seperti orang lain. Dia berusaha memenuhi tuntutan
lingkungan, dengan harapan bisa berubah menjadi orang kebanyakan dan diterima.
Namun, biasanya, sih… seberapa keras pun mereka berusaha, mereka akan mendapati
lingkungan sekitar akan menuntut lebih dan lebih. Hingga mereka merasa putus
asa dan makin terpuruk.
“Nggak tahu, sih… rasanya memang lega kalau melampiaskan
kemarahan sama dia. Kalau lagi emosi, tinggal ngomelin dia, beres dah. Apalagi
kalau lihat dia repot. Senang aja, gitu,” komentar suami seorang penderita
depresi.
Seorang psikolog pernah mengatakan, ada tipe orang yang
seperti keset. Mereka mengizinkan diri mereka melayani dan memuaskan keinginan
orang lain. Mereka diinjak-injak, tetapi mereka mengizinkannya. Mereka ikhlas,
tapi orang lain semakin menginjak dan membuatnya seperti barang murahan. Baik
orang yang menginjak maupun orang yang diinjak menganggap cara hidup mereka
benar. Dunia diperuntukkan untuk orang-orang yang kuat. Yang lemah posisinya di
bawah dan layak diinjak.
Sekarang posisi kita
hanyalah satu di antara mereka yang ikut menginjak, atau membantu membangkitkan
orang itu. Dari sini kita bisa memilih bagaimana kita membantu mereka. Apakah
dengan nasihat, “Kamu kurang keras pada
dirimu sendiri”, atau dengan pelukan dan nyanyian lembut yang menyatakan
kalau mereka berharga.
Sangat perlu diingat, penderita depresi tidak bisa
menyelamatkan dirinya sendiri! Baik itu dengan kekuatan sendiri, agama, iman,
atau sabar dan sabar.
Karena itu, nasihat-nasihat berbau agama dan teguran yang
sebenarnya mencemooh saja, hanyalah trigger
yang memperburuk kondiri mereka.
“Anda bisa menceramahi seorang penderita dengan ayat ini dan
itu, lalu membuatnya terjun dari lantai 5 beberapa menit kemudian,” ujar
Johana—seorang survivor.
Dhiko Surya Perdana—seorang terapis profesional mengatakan:
“Nasihat seprofesional apapun, di saat paling mendesak, takkan masuk dalam
pikiran penderita. Anda hanya akan menjadi
intruder—seorang
penyusup. Negosiasi hanya akan berjalan kalau mereka masih ragu, meski sudah
akan mengakhiri hidup. Berada di dekat mereka adalah pencegahan terbaik. Jika
sesuatu yang buruk terjadi, pergunakan insting terbaik anda. Jika insting anda
berkata lari, larilah. Jika insting utama anda adalah berjuang dan kasih
sayang, maka anda akan memaksa menerobos dan mencegah perilakunya. Anda akan
memeluknya kuat, memarahinya, menangis bersamanya…”
Jika anda ingin membantu penderita depresi agar sembuh, maka
perlu diingat bahwa ANDA TIDAK BISA MEMBANTU SETENGAH-SETENGAH. Anda bisa
menentukan batasan, tapi tetap, anda harus memegang komitmen untuk ADA DI DEKAT
MEREKA. MENYENTUH SECARA EMOSI. BUKAN DEKAT SECARA FISIK, TAPI RAJIN MENYERANG
DENGAN CERITA BETAPA HEBAT DAN SUCINYA ANDA. Rajinlah menggali informasi,
bertanya kepada ahli, atau kalau bisa, arahkan mereka untuk konseling. Kalau
mereka tidak ada biaya, maka usahakan juga untuk menggalang dana.
Sebenarnya apa yang dibutuhkan para penderita depresi?
Apapun masalah mereka, apapun terapi yang nantinya
disarankan oleh terapis profesional, mereka sangat memerlukan kasih. Baik itu
simpati, empati, maupun compassion—kewelas
asihan.
Sebuah pelukan akan lebih berarti daripada ceramah mengenai “Tuhan tidak akan memberi cobaan melebihi
kemampuan umat-Nya.” Sepotong roti saat mereka lapar. Dana pinjaman ketika
mereka sangat memerlukan uang. Pekerjaan saat mereka menganggur. Lebih dari
itu, mereka perlu diingatkan kalau mereka itu BERHARGA.
Pengakuan akan arti mereka. Penerimaan dan terus ada di
dekat mereka adalah dukungan yang luar biasa. Memerlihatkan ‘you are not alone’ bisa membuat
penderita bangkit dan kembali memiliki semangat hidup.
Merasa tidak mampu melakukan semua hal di atas? MAKA
DIAMLAH!!! Ketahuilah, kalau mulut nyinyir
anda sama dengan pistol berpeluru yang langsung anda sodorkan di kepalanya.
Jadi, alih-alih jadi pengkotbah, jadilah seorang sahabat yang benar-benar
sahabat.
Tidak ada salahnya mengajak mereka berlindung di bawah
hadirat Tuhan. Tuhan adalah pegangan terbaik saat manusia goyah. Tapi tetap
saja, pertolongan adalah yang utama. Setelah itu, barulah mengusahakan
pengobatan dan perbaikan di bidang spiritual.
Akhir kata, semoga setiap kita bisa menjadi penyelamat orang
lain. Bukan orang yang membuat orang lain bunuh diri karena mendengar kata-kata
kita. Bangkitkan mereka dengan cinta. Jadilah sahabat yang bersimpati, kerabat
yang berempati, dan yang terpenting, jadilah manusia welas asih.
Kirang langkung ampurayang.
Terima kasih untuk:
Glenn Alexei
Johana Krisna Ariesta S
Dhiko Surya Perdana
Evi Wirayanti
Setuju Fel. Depresi itu silent killer. Bahkan bisa lebih berbahaya daripada sakit jantung atau kanker karena.... kalau tak tertanggulangi bisa membahayakan orang-orang terdekatnya juga :(
BalasHapusDan ajaibnya, banyak dari kita yang menganggap orang depresi itu cengeng, lembek, mental ongol-ongol, dan pantas di-bully atau diinjak-injak. >.<
Nah makanya, kasihan banget kan :(
HapusNah makanya, kasihan banget kan :(
HapusSaya baru sempat baca. Sungguh alur dan rasa yang sama.
BalasHapus