Sebuah pengampunan bisa berpengaruh besar. Dongeng di bawah terinspirasi dari hal tersebut...
***
Raja sakit. Seluruh kerajaan berduka. Ratu
memanggil banyak tabib. Akan tetapi, tidak seorang pun bisa menyembuhkan Sang
Raja.
Hingga suatu hari, datanglah seorang tabib pengelana. Dengan
pengetahuannya, dia mengobati banyak orang. Tak peduli kaya atau miskin.
Kepandaiannya menyebar ke seluruh kerajaan.
Ratu pun akhirnya mendengar berita itu. Dia segera memerintahkan hulubalang
untuk mencari sang tabib.
Rumah tabib ramai sekali. Hulubalang
kesulitan masuk. Dia melambaikan tangan untuk menunjukkan tanda perintah
kerajaan. Melihat tanda itu, asisten tabib segera menyilakan hulubalang masuk.
Sang Hulubalang kaget melihat betapa mudanya
tabib itu. Dengan ramah, Sang Tabib menyapa hulubalang, “Ada keperluan apakah
anda kemari, Pak Hulubalang?”
“Raja sakit sejak beberapa bulan lalu,”
Hulubalang menjelaskan, “Bisakah tabib menolongnya?”
Mendengar raja sakit, Sang Tabib segera
mengambil tas pengobatan. Dia membungkuk pada barisan di luar, “Maafkan saya,”
kata Sang Tabib, “Hari ini saya ada keperluan penting. Mohon datang besok
saja.”
Sang Tabib naik kereta bersama hulubalang.
Sampai istana, Sang Tabib segera memeriksa raja. Rupanya, raja sakit pencernaan
karena stress. Sang Tabib membuatkan resep. Dia juga meminta ratu untuk lebih
sering mendengar curhat raja. Hal itu akan membantu menurunkan tekanan darah
raja, kata Sang Tabib.
Tak lama, raja pun sembuh. Raja senang. Malam
itu, raja mengadakan pesta. Raja mengundang tabib yang telah menolongnya. Terkejutlah
ia, ketika melihat tabib itu begitu muda. Seumuran dengan putri sulungnya.
Raja menjamu tabib dan asisten tabib dengan
jamuan istimewa. Tiba saatnya tabib memperkenalkan diri. Sang Tabib maju lalu membungkuk
hormat. Semua orang terkagum-kagum. Bahkan Putri Raja tak bisa berhenti
bertepuk tangan.
“Kupikir engkau seumuran dengan menteri
senior,” kata raja, “Tapi tidak apa-apa. Kemarilah, aku ingin kau menjawab satu
pertanyaanku. Kenapa kau bisa menguasai ilmu pengobatan setinggi ini?”
Sang Tabib tersenyum dan menjawab,
“Sebenarnya, Yang Mulia-lah yang membuat saya bisa menjadi tabib andal.”
“Aku?” Raja kembali terkejut. Seluruh
istana bingung dengan pernyataan Sang Tabib. Mereka memandang tabib itu
penasaran.
“Benar, Yang Mulia. Kalau saja Yang Mulia
tidak menghukum hamba, hamba tidak akan bisa menjadi tabib. Ingatkah Yang
Mulia, hukuman apa itu?”
Kembali, raja dan seluruh istana
kebingungan. Sang Tabib pun menceritakan masa lalunya.
“Dulu, hamba anak yang amat nakal. Ayah ibu
dan saudara hamba tak pernah memerhatikan hamba. Karena itu, hamba mulai
mencari perhatian.
Saat Yang Mulia lewat rumah hamba, hamba
meneriaki Yang Mulia ‘Hidung Jambu’. Semua pengawal langsung menangkap hamba.
Ibu hamba menampar hamba di depan Yang Mulia.”
Kini, raja mulai ingat akan apa yang
diceritakan Sang Tabib. Dia ingat, saat itu ia sedang blusukan. Ada seorang anak yang mengatai hidungnya pesek dan besar
seperti jambu. Semua orang berang saat itu.
Sungguh tak sopan seorang rakyat
kecil berani mengejek penguasa. Anak itu segera ditangkap. Menurut
undang-undang kerajaan, lidah anak itu harus dipotong.
Raja ingat, saat itu keluarga anak itu
lebih dulu menghajar dan mencaci maki. Mereka malu memiliki anak yang mencoreng
nama baik keluarga. Mereka bahkan mengusulkan anak itu dihukum mati saja.
Namun saat itu, raja mendekati anak tadi.
Dia membangkitkan anak itu hingga berdiri. Kemudian dengan lembut dia berkata,
“Nak, aku percaya kau ini anak baik. Anak baik tidak menyakiti hati orang lain.”
Perkataan raja membuat semua orang terdiam.
Raja berdeham dua kali. Lalu memerintahkan, “Aku setuju kalau perkataan anak
ini tak sopan. Anak ini harus dihukum!” katanya tegas.
Semua orang menahan napas. Menunggu titah
berikutnya. Tapi raja hanya tersenyum seraya berkata, “Anak ini harus membantu
tabib istana selama tiga tahun.”
“Tapi, Yang Mulia—“ protes para pengawal.
“Anak ini masih kecil. Perjalanannya masih
panjang,” raja berkata tenang, “Aku percaya, satu pengampunan akan membuatnya
belajar banyak hal.”
“Yang
Mulia,” air mata Sang Tabib menitik, “Saat itu, pertama kalinya hamba mendengar
ada yang bilang hamba ini anak baik. Hamba menyesal. Hamba mengingat perkataan
Yang Mulia seumur hidup. Hamba juga berusaha belajar dari tabib istana. Hamba
sungguh-sungguh ingin jadi anak baik yang menolong orang lain.”
Kini, semua orang menangis. Ternyata satu pengampunan
sangat berarti. Perkataan raja juga membuat anak itu memiliki semangat untuk
memiliki tujuan hidup. Membawa kebaikan bagi sesamanya.
Foto dari Pixabay
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)