Dua tahunan ini agaknya perayaan 17 Agustusan semakin
semarak. Upacara-upacara bendera yang biasanya penuh dengan ketegangan, kini
menghadirkan musik dan tari. Semangat kemerdekaan tampak dari setiap lomba yang
diunggah di media sosial. Mengesankan kalau perayaan kemerdekaan NKRI ini telah
membawa kegembiraan dan semangat baru.
Kemarin, saya melihat foto Pak Jokowi menundukkan kepala
saat upacara bendera. Saya bersyukur, caption fotonya begitu positif. Memiliki
presiden yang begitu rendah hati itu sebuah karunia, bukan? Kerendahan hatilah
yang membuat kita sadar, kalau tanggung jawab jadi presiden itu sangat berat.
Namun tentu saja, yang namanya kubu nyinyir pasti ada.
Ibaratnya makan nasi belum lengkap tanpa adanya sambal. Di media sosial,
keriuhan pesta perayaan kemerdekaan berlangsung dengan saling melempar komentar
sinis. Tiada hari tanpa mengeluh,mungkin itu prinsip mereka. Karena itu, momen
17-an pun dijadikan ajang pelampiasan emosi.
Terus terang, alih-alih marah, saya malah kasihan sama
orang-orang ini. Hidup mereka habis untuk mengeluh dan bersungut-sungut. Jadi
ingat cerita satu bangsa yang berputar-putar di gurun pasir selama 40 tahun.
Jangan-jangan, tabiat mereka sama aja dengan bangsa itu? Kalau dulu bangsa itu
nyinyir setelah diselamatkan dari pengejaran, dibebaskan dari perbudakan,
diberi makan setiap hari, terjamin pakaian, diademkan dengan tiang awan,
dihangatkan dengan api surgawi… Nah, generasi ini lebih keren lagi. Nggak ngerasain nggak enaknya perang dan lari
dari musuh, nggak perlu ngerasain dijajah dua bangsa, cukup makan, pakaian
branded, bisa nonton film India, atau maraton Drakor, atau nongkrongin Syahrini
dan Raffi Ahmad pamer kekayaan, bisa internetan pula buat curcol-curcolan, tapi
kerjaannya tiap hari misuh-misuh. Sudah misuh-misuh, foto presiden diinjek
pula. Waduh, kalau bangsa yang diputar-putar di gurun itu lihat pun kayaknya
bakal geleng-geleng kepala sambil ngomong, “Aduh,
Le… kok kowe lebih parah dari aku, tho, ya…”
Saya ingat, dulu pernah baca tentang sumpah iblis dan
semacamnya *maaf kalau salah* yang bilang kalau iblis bakalan menyesatkan
manusia dari utara, selatan, barat, timur, kiri, kanan, tengah… segala penjuru
lah. Tujuannya apa? Simpel. Pokoknya biar manusia itu TIDAK BERSYUKUR.
Ayat ini sampai sekarang jadi pegangan saya, lho. Jadi kalau
hati saya mulai merasa kurang dan tidak damai sejahtera, maka saya akan segera
introspeksi diri. Jangan-jangan lagi ada sesuatu yang bikin pikiran
berputar-putar hingga menjadi galau dan sakaw marah-marah.
Saya nggak akan ngomongin dunia sebelah di sini. Cuma saya
lagi prihatin aja sama orang yang kemarin masih bisa ngeluh dan
bersungut-sungut. Kemerdekaan bangsa ini tidak ada artinya bagi mereka. Kenapa?
Ya, karena mereka bahkan belum merdeka dari diri mereka sendiri. Penjajah
mereka ya bukan rezim sekarang, bukan dunia sekarang, tapi pikiran dan hati
mereka sendiri. Setiap hari merasa ketakutan, setiap hari merasa kurang dan
kurang, setiap hari tangan gatal buat
nyinyirin orang, setiap hari jari gatal
pengin ke tetangga buat meneruskan jejak kepo peniros… ini dan itu. Dari
ngurusin lahiran
sectio apa normal, ngurusin nikahan kok ada orang yang nggak
nikah-nikah, ngurusin lu vaksin apa nggak, sampai maki-maki orang yang udah
jadi jenazah, dokter kok bisa mati
(yaelah lu pikir dokter Robocop apa? -_-)…
pokoknya segala sesuatu bakal jadi bahan
nyinyir mereka. Termasuk
Raisa wkwkwk :3
Padahal, nih… kalau aja mereka semua makmur dan kaya, bisa jadi mereka masih tetap bakal nggak puas. Bahkan mereka bakal berbuat hal yang
makin buruk dan semakin menghancurkan diri mereka, bahkan menghancurkan bangsa
ini.
Kalau ada yang pernah membaca kisah Mahabharata, pasti tahu
Bangsa Yadawa, kan? Itu, lho… bangsa yang dipimpin Sri Krisna. Raja agung yang
kini menjadi dewa bagi banyak orang. Dengan pemimpin luar biasa seperti itu,
apakah Bangsa Yadawa mendapat kemajuan dan berakhir bahagia?
Sayangnya, nggak. Disebutkan kalau Bangsa Yadawa itu
kemudian menjadi sekumpulan pemabuk yang selalu berpesta. Mereka mabuk hingga
akhirnya saling membunuh. Sri Krisna pun akhirnya menyerah. Beliau membiarkan
seorang pemanah membunuhnya. Bye, bye…
Bangsa Yadawa. Hayati lelah… -_-
Dan dengan begitu, musnahlah Bangsa Yadawa. Tanpa sisa.
Bro’sis. Ini adalah sebuah pelajaran bagi kita semua.
Perayaan kemerdekaan sebesar apapun. Dengan konsep sebagus apapun, tidak akan
berarti jika kita semua belum bisa memerdekakan diri kita sendiri. Jangan mau
seperti bangsa pertama, yang berputar-putar di gurun pasir, atau Bangsa Yadawa
yang mabuk lalu saling membunuh.
Belajarlah menjadi merdeka. Karena bangsa ini sudah merdeka berkat
para pejuang yang mengorbankan segalanya bagi Bangsa Indonesia. Tidak hanya harta, keluarga, golongan, tapi nyawa!
Ingatlah, kamu hanya bisa membantu memerdekakan orang lain, jika kamu sudah merdeka dari egoisme, narsisme, dan fanatisme sempitmu!
Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.
Dirgahayu, Indonesiaku!
Gambar dari: pixabay.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)