Rasa-rasanya setiap tahun tidak ada yang berubah dari
perayaan Tiong Ciu. Ade (ayah) dan nio (ibu) akan membawa aku dan
saudara-saudaraku ke gang sempit itu. Seperti biasa, memerlukan hampir setengah
jam untuk menunggu pintu dibukakan. Itu belum termasuk anjing-anjing yang setia
menggonggong seraya mencari kesempatan menancapkan taring mereka di kaki kami.
Terus terang, aku tidak suka tempat itu. Meski kenyataannya,
di gang sempit itu, semua saudara kami tinggal. Dinding-dinding dan gerbang-gerbang
tinggi terlihat terlalu angkuh. Demikian juga para penghuninya yang jarang
bertegur sapa. Padahal, selain bertetangga, mereka semua bersaudara.
Ketika tahun semakin berganti, aku semakin paham akan
kebiasaan mereka. Orang-orang akan mengerubungi encek (paman) terkaya seraya menjilat. Kami-kami yang hanya membawa
motor ini tidak terlalu digubris. Paling-paling ketika ada kerjaan kasar,
barulah mereka memanggil ade dengan
nada menyanjung. Pekerjaan itu harusnya dikerjakan oleh anak laki-laki tertua, begitu
kata mereka.
Kali ini pun, ade
mendapat pekerjaan angkat-angkat lungsuran
sembahyangan. Nio di dapur, seperti
biasa memasak dan mencuci. Aku sendiri sibuk mencari kotak kue bulan. Yang
sayangnya, tahun ini tidak kutemukan.
Sudah beberapa tahun, keluarga kami tidak membeli merk Kim
Ling. Padahal bisa dibilang, hanya kue itu yang memberi kenangan manis
kepadaku. Kue bulan produksi Surabaya itu adalah kue yang paling kusukai.
Kulitnya tipis, sementara rasa kacang dan kuning telur di dalamnya tidak terlupakan.
Yang paling membuatku senang adalah kotak kuenya. Di mana setiap kotak memiliki
gambar-gambar zaman kerajaan. Setiap tahun, aku selalu berupaya menyelamatkan
gambar itu dari minyak yang akan meresap pada kartonnya.
Akan tetapi, dengan adanya kesulitan ekonomi akhir-akhir
ini, keluargaku mati-matian melakukan penghematan. Kue bulan yang mula-mula
memiliki pola cantik itu kini berganti dengan kue serupa bakpia besar dengan
manisan jeruk di dalam. Asli Bali. Kemasannya pun hanya plastik tebal dengan
pita di atasnya.
Alur pergosipan pun akhirnya berganti ke arah politik. Kuku-kuku (bibi-bibi) selalu marah
karena harga semakin tinggi. Lebih baik korupsi merajalela daripada harga tak
terbendung begini, keluh mereka. Buat apa punya pemerintahan yang jujur tapi
rakyatnya sengsara? Lebih baik para pemimpin korupsi, tapi rakyat tetap
disubsidi (Terus hutangnya siapa yang
bayar, Ku?).
Haiya … Kalau sudah begini, aku pun galau sendiri. Apakah
aku yang terlalu bodoh. Masalahnya yang mengeluh begitu kuku yang kekayaannya bertebaran di mana-mana. Dengar-dengar, sih …
dia punya perkebunan luas dan agrowisata juga. Tapi manalah dia mau bilang pada
kami. Nanti kalau kami minta diutangin kan dia yang repot.
“Heran, aku kemarin beli perhiasan emas aja kena pajak,”
keluh kuku lagi. Aku lagi-lagi
menggeleng-geleng. Diam-diam bersyukur nggak bayar pajak emas. Ya iyalah,
secara perhiasan aja nggak punya. Hahaha.
Hampir saja aku tertawa keras-keras. Tapi saat itu,
pandanganku menangkap sosok Kuku
Yulan. Kehadiran Kuku Yulan membuat
semua orang berhenti berbicara. Semua memandang tubuh ringkihnya yang
terbungkuk-bungkuk ke kamar mandi.
Dan aku seketika akan teringat pada sebuah puisi dari Cao
Xueqin dari masa dinasti Qing:
Musim semi berakhir,
pada akhirnya bunga-bunga terjatuh.
Begitu juga dengan
kecantikan yang akan menua dan mati.
Ketika musim semi
berakhir, ketika bunga kehidupan memudar.
Bunga yang layu, gadis
yang mati – tidak ada yang peduli!
Rembulan bersinar indah malam ini. Orang-orang mengeluhkan
nasib lalu menyalahkan keadaan. Tapi tidak dengan Kuku Yulan.
Di masa lalu, Kuku
Yulan pernah histeris karena patah hati. Orang-orang membawanya ke mantri, lalu mengurungnya di rumah.
Olok-olok bahwa dia gila mulai menyebar ke mana-mana. Semua orang takut
berhadapan dengannya. Dan dia sendiri jadi mulai menjauhi semua orang. Yang
kudengar, cita-citanya hanya berhasil menabung untuk biaya kremasinya nanti.
Apakah dia sudah terlalu lelah untuk mengeluh dan
menyalahkan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, dalam langkah-langkah lemahnya, tidak
ada seorang pun mau mengulurkan tangan untuk membantu. Baik itu kuku-kuku lain, ade, nio … bahkan aku.
Ya, aku hanya bisa mendoakan dalm hati, semoga kuku bisa menemukan kebahagiaan di masa
tuanya. Semoga.
***
Mengitari pagoda merah, lewati tirai jendela... begitu sulit untuk tidur,
Tidak perlu menyimpan dendam, namun mengapa bulan penuh saat perpisahan?
Orang kadang bersedih lalu bersukacita, rembulan benderang lalu meredup.
Sedari dulu begitulah adanya. Hanya berdoa diberkati umur panjang.
Maka saat terpisah ribuan mil pun, masih bisa menikmati keindahan bulan.
Gambar: Pixabay
转 朱 阁 低 绮 户 照 无 眠
不 应 有 恨 何 事 长 向 别 时 圆
人 有 悲 欢 离 合 月 有 阴 晴 圆 缺
此 事 古 难 全 但 愿 人 长 久
千 里 共 婵 娟
Happy Mid Autumn Festival!
Putu Felisia
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)