Putu Felisia : Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari

Rabu, 04 Oktober 2017

Cerpen: Cerita Kue Bulan

Kapankah datangnya bulan purnama?
Membawa arak lalu bertanya pada hari ini
Tak tahu di atas itu istana surgawi, atau malam ini di tahun apa.
Kuingin pulang dengan menaiki angin,
Tapi takut akan bangunan kristal dan atap giok.
Terlalu tinggi dan dingin,
Menari di bawah sinar rembulan.
Dan semua ini tidak tampak seperti dunia manusia...
Dan Yuan Ren Chang Jiu - Teresa Teng



明 月 几 时 有                            
把 酒 问 青 天                                       
不 知 天 上 宫 阙 今 夕 是 何 年
我 欲 乘 风 归 去 
唯 恐 琼 楼 玉 宇
高 处 不 胜 寒 
起 舞 弄 清 影
何 似 在 人 间

但愿人长久

Gambar: Pixabay


***
Rasa-rasanya setiap tahun tidak ada yang berubah dari perayaan Tiong Ciu. Ade (ayah) dan nio (ibu) akan membawa aku dan saudara-saudaraku ke gang sempit itu. Seperti biasa, memerlukan hampir setengah jam untuk menunggu pintu dibukakan. Itu belum termasuk anjing-anjing yang setia menggonggong seraya mencari kesempatan menancapkan taring mereka di kaki kami.

Terus terang, aku tidak suka tempat itu. Meski kenyataannya, di gang sempit itu, semua saudara kami tinggal. Dinding-dinding dan gerbang-gerbang tinggi terlihat terlalu angkuh. Demikian juga para penghuninya yang jarang bertegur sapa. Padahal, selain bertetangga, mereka semua bersaudara.

Ketika tahun semakin berganti, aku semakin paham akan kebiasaan mereka. Orang-orang akan mengerubungi encek (paman) terkaya seraya menjilat. Kami-kami yang hanya membawa motor ini tidak terlalu digubris. Paling-paling ketika ada kerjaan kasar, barulah mereka memanggil ade dengan nada menyanjung. Pekerjaan itu harusnya dikerjakan oleh anak laki-laki tertua, begitu kata mereka.

Kali ini pun, ade mendapat pekerjaan angkat-angkat lungsuran sembahyangan. Nio di dapur, seperti biasa memasak dan mencuci. Aku sendiri sibuk mencari kotak kue bulan. Yang sayangnya, tahun ini tidak kutemukan.

Sudah beberapa tahun, keluarga kami tidak membeli merk Kim Ling. Padahal bisa dibilang, hanya kue itu yang memberi kenangan manis kepadaku. Kue bulan produksi Surabaya itu adalah kue yang paling kusukai. Kulitnya tipis, sementara rasa kacang dan kuning telur di dalamnya tidak terlupakan. Yang paling membuatku senang adalah kotak kuenya. Di mana setiap kotak memiliki gambar-gambar zaman kerajaan. Setiap tahun, aku selalu berupaya menyelamatkan gambar itu dari minyak yang akan meresap pada kartonnya.

Akan tetapi, dengan adanya kesulitan ekonomi akhir-akhir ini, keluargaku mati-matian melakukan penghematan. Kue bulan yang mula-mula memiliki pola cantik itu kini berganti dengan kue serupa bakpia besar dengan manisan jeruk di dalam. Asli Bali. Kemasannya pun hanya plastik tebal dengan pita di atasnya.

Alur pergosipan pun akhirnya berganti ke arah politik. Kuku-kuku (bibi-bibi) selalu marah karena harga semakin tinggi. Lebih baik korupsi merajalela daripada harga tak terbendung begini, keluh mereka. Buat apa punya pemerintahan yang jujur tapi rakyatnya sengsara? Lebih baik para pemimpin korupsi, tapi rakyat tetap disubsidi (Terus hutangnya siapa yang bayar, Ku?).

Haiya … Kalau sudah begini, aku pun galau sendiri. Apakah aku yang terlalu bodoh. Masalahnya yang mengeluh begitu kuku yang kekayaannya bertebaran di mana-mana. Dengar-dengar, sih … dia punya perkebunan luas dan agrowisata juga. Tapi manalah dia mau bilang pada kami. Nanti kalau kami minta diutangin kan dia yang repot.

“Heran, aku kemarin beli perhiasan emas aja kena pajak,” keluh kuku lagi. Aku lagi-lagi menggeleng-geleng. Diam-diam bersyukur nggak bayar pajak emas. Ya iyalah, secara perhiasan aja nggak punya. Hahaha.
Hampir saja aku tertawa keras-keras. Tapi saat itu, pandanganku menangkap sosok Kuku Yulan. Kehadiran Kuku Yulan membuat semua orang berhenti berbicara. Semua memandang tubuh ringkihnya yang terbungkuk-bungkuk ke kamar mandi.

Dan aku seketika akan teringat pada sebuah puisi dari Cao Xueqin dari masa dinasti Qing:

Musim semi berakhir, pada akhirnya bunga-bunga terjatuh.
Begitu juga dengan kecantikan yang akan menua dan mati.
Ketika musim semi berakhir, ketika bunga kehidupan memudar.
Bunga yang layu, gadis yang mati – tidak ada yang peduli!

Rembulan bersinar indah malam ini. Orang-orang mengeluhkan nasib lalu menyalahkan keadaan. Tapi tidak dengan Kuku Yulan.

Di masa lalu, Kuku Yulan pernah histeris karena patah hati. Orang-orang membawanya ke mantri, lalu mengurungnya di rumah. Olok-olok bahwa dia gila mulai menyebar ke mana-mana. Semua orang takut berhadapan dengannya. Dan dia sendiri jadi mulai menjauhi semua orang. Yang kudengar, cita-citanya hanya berhasil menabung untuk biaya kremasinya nanti.

Apakah dia sudah terlalu lelah untuk mengeluh dan menyalahkan? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, dalam langkah-langkah lemahnya, tidak ada seorang pun mau mengulurkan tangan untuk membantu. Baik itu kuku-kuku lain, ade, nio … bahkan aku.

Ya, aku hanya bisa mendoakan dalm hati, semoga kuku bisa menemukan kebahagiaan di masa tuanya. Semoga.
***
Mengitari pagoda merah, lewati tirai jendela... begitu sulit untuk tidur,
Tidak perlu menyimpan dendam, namun mengapa bulan penuh saat perpisahan?
Orang kadang bersedih lalu bersukacita, rembulan benderang lalu meredup.
Sedari dulu begitulah adanya. Hanya berdoa diberkati umur panjang.
Maka saat terpisah ribuan mil pun, masih bisa menikmati keindahan bulan.

Gambar: Pixabay
转 朱 阁 低 绮 户 照 无 眠
不 应 有 恨 何 事 长 向 别 时 圆
人 有 悲 欢 离 合 月 有 阴 晴 圆 缺
此 事 古 难 全 但 愿 人 长 久
千 里 共 婵 娟
Happy Mid Autumn Festival!

Putu Felisia

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

Tidak ada komentar:

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)