Sepertinya, hanya hari ini seluruh keluarga Tan Boen San
berkumpul semua. Kesembilan anaknya tampak kompak. Tidak berdebat dan saling
tunjuk seperti biasa. Cucu-cucunya pun berdatangan. Tidak hanya satu dua, tapi
semua muncul. Lengkap bersama dengan cucu mantu dan cicit-cicit. Semua
tersenyum sambil mengucapkan semua hal baik. Seakan-akan, mereka sangat
menyayangi Boen San.
Pakaian-pakaian Tan Boen San berserakan di lantai. Beberapa
anak dan cucu sibuk memilih-milih mana yang paling Boen San senangi. Anak-anak
lain membelikan perlengkapan mandi dan obat. Tidak ada yang boleh kurang. Semua
harus lengkap diberikan pada Boen San.
Boen San ingat, bulan lalu… anak-anaknya masih sibuk
menggerutu. Semua bilang, sudah cukup berbakti dan mengabdi. Toh, tidak semua
kebagian warisan. Jangankan yang tidak mendapatkan bagian, yang nyata-nyata
diberikan uang, rumah, dan toko saja menganggap sudah cukup Boen San
merepotkannya.
A Fong—si sulung, jelas enggan melihat wajah Boen San.
Sebenarnya, Boen San pun heran kenapa dia tidak begitu suka dengan anaknya ini.
Boen San menganggap anaknya bebal dan tidak berguna. Meski sebenarnya, A Fong
yang paling banyak mewarisi sifat-sifatnya. Herannya, meski sangat menyukai
uang dan perhitungan, baik Boen San dan A Fong tidak bisa kaya raya. Hal ini
kemudian semakin membuat Boen San tidak menyukai A Fong. Sudah perhitungan sama
orang tua, miskin pula.
A Mei—putri keduanya, mendapat beberapa toko dan rumah
setelah istri Boen San meninggal. Langit mungkin sentimen pada A Mei. Hingga
kini, A Mei malah harus ngontrak sebuah kamar indekos kecil. Di sana dia harus
berbagi dengan anak, menantu, dan seorang cucu. Beberapa kali, A Mei terpaksa
meminjam uang dan mengutang.
A Suan, A Heng, A Kin, anak-anak ini tidak begitu dihiraukan
Boen San. Toh, hidup mereka biasa-biasa saja. Tidak ada yang mampu menanggung
hidup Boen San di hari tua. Boro-boro mau menanggung Boen San, bisa makan saja
mereka sudah syukur.
A Wie mungkin anak yang paling berhasil. Bermodalkan
sertifikat rumah tua, A Wie berhasil merintis usaha hingga sukses memiliki toko
kelontong yang berkembang menjadi beberapa minimarket. Mau tak mau, Boen San
jadi perhatian pada A Wie. Soalnya, secara finansial, A Wie sangat mampu
membiayai Boen San.
A Ling, putri selanjutnya, paling mengecewakan Boen San.
Beberapa kali dicampakkan lelaki, punya riwayat depresi, pokoknya bikin malu.
Kalau saja bisa memilih, Boen San tidak mau A Ling yang merawatnya. Meski memang lagi-lagi sepertinya langit
sentimen. Karena tidak memiliki keluarga dan pekerjaan, hanya A Ling yang bisa
mendedikasikan seluruh waktunya untuk merawat Boen San.
A Yin dan A Sing, anak-anak kesayangannya tidak bisa berbuat
banyak. A Yin selalu diawasi sang mertua. Sedangkan A Sing sangat bergantung
pada penghasilan istrinya. Kerja serabutan, beberapa kali harus meminta Boen
San membayari hutang. Tapi tidak apa-apa, toh, Boen San sangat menyayangi A
Sing.
Jadi, hingga minggu lalu… anak-anak Boen San masih
meributkan siapa yang harus mengurus Boen San. Masing-masing memiliki argumen
meyakinkan. Mereka semua sama-sama keberatan mengurus lansia yang sudah
tergolek lemah di tempat tidur. Apa enaknya mengurus orang yang saban hari
harus disuapi, digantikan pampers,
diindahkan keluhan-keluhannya? Bahkan bau badan pun sudah busuk. Luka-luka
menjelma koreng. Singkatnya, mereka semua sepakat menganggap Boen San akan
menjadi beban, tapi tidak berani menyinggung hal-hal yang menyangkut kematian.
Takut kualat, katanya.
Baru hari ini, Boen San bisa melihat kekompakan
anak-anaknya. Dengan lantang, mereka mengumumkan akan berbakti selama 42 hari.
Mereka memilih peti terbaik. Buah-buahan, kue-kue, alat-alat sembahyangan
paling segar dan harum. Mereka merencanakan akan membuat rumah gedong-gedongan paling megah dan mahal.
Seandainya kekompakan itu terjadi waktu Boen San masih
tergolek lemah. Seandainya kasih sayang itu didapat ketika Boen San tergolek
menahan gatal dan sakit di tempat tidur.
Tetapi sayangnya, waktu tidak bisa diputar balik. Kalau saja
bisa, Boen San ingin sekali kembali. Kembali ke saat-saat dulu, di mana dia
masih bisa mengajari kalau kasih lebih penting daripada uang dan warisan.
Kasih mendatangkan cinta. Uang mendatangkan ketamakan.
Uang. Uang. Uang.
Kini kertas-kertas terlipat itu telah menutupi sekujur
tubuhnya yang kaku. Dipercaya kalau uang-uangan itu akan mampu mengisi
kehidupan setelah mati, memberi terang bagi jalan almarhum. Hanya ini rasa
bakti dari 9 anak yang dihadirkan Boen San di muka bumi. Anak-anak yang
dibesarkannya hingga menjadi dewasa.
Uang-uangan kertas. Dupa yang semakin habis. Sembahyangan
yang nanti akan membusuk. Gedong-gedongan
mewah yang nanti akan terbakar hingga menjadi abu.
42 hari waktu perkabungan.
Hanya itu saja. Tidak lebih.
Foto: koleksi pribadi
TAMAT
Putu Felisia
IG/Wattpad/Twitter: PutuFelisia
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)