Dahulu, saya termasuk orang yang iri melihat artikel-artikel yang membahas sistem pendidikan di luar negeri. Padahal, saya sendiri tidak tahu bagaimana sistem pendidikan Indonesia. Apakah sistem yang berlaku saat ini memang sistem yang memang sudah dari sononya?
Saya adalah seorang orang tua yang heran ketika melihat soal
ulangan anak kelas 1 SD. Beberapa soal ulangannya adalah:
Nama kitab suci agama Kong Hu Cu adalah ___
Pemimpin agama Kong Hu Cu adalah ___
Suku di Kalimantan Barat adalah suku___
Suku di Papua adalah suku ____ dan suku ____
(mata pelajaran: PPKn)
Meningkat lagi, tambah nggak paham waktu baca soal-soal
kakaknya:
KTP singkatan dari _____
KTP dibuat di____
Akta nikah dibuat di____
Untuk membuat akta nikah diperlukan _______
(mata pelajaran: IPS)
Saya bingung. Seandainya ada roti hafalan Doraemon, pasti
sudah saya beli :D
*
Problema bidang pendidikan ini sebenarnya sudah saya alami
semenjak sekolah. Meski saya suka pelajaran Sejarah, saya tidak suka menghafal
lebar lapangan bulu tangkis atau ukuran bola voli :’3
Intinya, saya sempat trauma dengan sekolah yang di masa
saya, beneran kayak semau gue. Dari nilai yang ditentukan oleh kecanggihan
menyontek, guru rasis, dan perundungan. Hal itu lama kelamaan terlihat wajar di
mata saya.
Yah, dunia memang nggak adil, pikir saya.
Tapiii, saya nggak menyangka. Setelah saya punya anak,
persoalan pelajaran sekolah tampaknya semakin runyam. Sekarang ini, ada standar
baru kalau mau masuk SD. Begitu anak-anak mengenakan seragam putih merah,
artinya anak-anak sudah harus mampu menghitung, menghitung susun, mengingat
semua agama, nama tempat ibadah, pemimpin agama, belum lagi nama suku, lagu
daerah dan lain-lain. Ini belum termasuk hafalan-hafalan lain dan perhitungan
yang tentu saja tidak mungkin bisa kalau tidak menguasai Calistung secara
mumpuni. MUMPUNI.
Sebagai informasi, di Bali, khususnya Denpasar, sekarang
nilai standar kelulusan setiap mata pelajaran adalah 75. Sementara di kelas 6,
nilai kelulusan minimal 80.
Jadi, boro-boro dapat nilai 50, dapat nilai 65 atau 70 saja,
rapor anak-anak sekarang sudah merah.
Saya sempat frustasi dan berkeliling ke sekolah-sekolah,
bahkan ngomong langsung ke orang dinas pendidikan, yang kemudian dijawab dengan
defensif. Buntut-buntutnya, kembali ke pernyataan, “Semua ini kebijakan dari
pusat. Kita hanya menuruti saja.”
Beberapa tahun lalu, saat ketemu Kak Seto, Kak Seto pun
sudah skeptis dengan sistem yang konon ‘dari zaman Mojopait’ ini *bukan saya
yang bilang xD*. Saya pun kemudian terpaksa mengambil kesimpulan dari kata-kata
semua orang di lingkungan saya, “Udahlah. Nak
mule keto (memang gitu adanya). Toh, anak-anak lain semua ngikutin. Ngikut
aja kenapa, sih?”
Sedih.
Nggak rela.
Tapi apa boleh buat.
Karena demikianlah kepercayaan yang berlaku di sini.
Orang
bersekolah karena perlu ijazah.
That’s it.
Tapi, sebetulnya saya mikir, apakah ini merupakan goal dari pendidikan nasional? Apakah
sekolah memang bertujuan mencetak ijazah untuk calon pegawai-pegawai untuk
mencari kerja? Kok sedih sekali, ya?
Saya beruntung, kemarin saya sempat berbincang-bincang
hangat dengan Bapak Wien Muldian. Beliau adalah pelaksana harian Gerakan
Literasi Nasional Kemdikbud. Belum tahu apa itu Gerakan Literasi Nasional?
Untuk ini, sepertinya akan dibahas lain waktu, ya.
Kembali ke kurikulum dan sistem pendidikan.
Menurut Pak Wien, kebijakan pendidikan saat ini sebetulnya
sudah mengantisipasi perkembangan teknologi dan modernisasi, khususnya memahami
gaya belajar anak zaman now.
Generasi milenial itu lebih banyak belajar melalui
audiovisual. Pertama kali, biasanya anak akan menonton di youtube, lalu kalau
penasaran akan mencari ke mesin pencari seperti Google. Saat anak makin
penasaran, dia akan mencari tahu lewat buku, ini pun masih masuk tahapan buku
digital. Di tahap berikutnya, barulah anak akan membaca buku.
Ini tantangan yang sedang kita hadapi bersama: selain
pemerintah, sekolah, keluarga, dan masyarakat juga perlu sikap dan langkah yang
jelas saat mengantisipasi situasi kontemporer ini.
Mau berubah, pembejar sepanjang hayat, terpaparkan hal baru
setiap saat, keluar dari zona nyaman, keberanian meretas jalan baru, dan
lain-lainnya masih menjadi masalah di beragam perikehidupan masyarakat kita.
Termasuk di kalangan birokrasi pendidikan, masih mau dituntun, diarahkan,
dilayani, minim inisiatif yang terbarukan, masih memakai cara lama.
Terkait kurikulum, rupanya sejak diberlakukannya otonomi
daerah, departemen pendidikan pusat hanya membuat besarannya. Pengembangan
pembelajaran dibuat berdasarkan muatan lokal di daerah. Termasuk penguatan
konten di para guru.
Sayangnya, hal ini sangat terkendala di kesiapan dan SDM di
pemerintah daerah. Belum semua daerah paham dengan jelas, ada juga yang masih
meraba-raba implementasinya. Belum lagi, hingga saat ini anggaran dana
pendidikan di daerah masih berkisar di bawah 20%. Rata-rata pemerintah daerah
masih mengutamakan infrastruktur dan sarpras. Masih minim dalam kaitan ke SDM
dan konten pendidikan. Pemerintah daerah masih sangat administratif, hingga
sulit menerima perubahan.
Namun, pada akhirnya, dunia pendidikan Indonesia memiliki
amanat yang jelas pernah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dulu:
“Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (karakter), pikiran (intelek-kompetensi), dan tubuh anak
(keterampilan – literasi). Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita
dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita.
Dan syukurlah, perubahan itu sedang terjadi. Semoga saja
semua akan lebih baik lagi di masa mendatang."
Informasi lebih lanjut tentang Kemdikbud dan Gerakan Literasi Nasional bisa langsung klik:
Catatan: Kemdikbud juga memiliki sosial media yang bisa diikuti.
Mari dukung pendidikan anak-anak dengan turut berperan aktif
mencari informasi.
Jadilah orang tua yang bijak, guru yang baik, dan orang yang mendukung perubahan positif :)
Tuhan memberkati.
@putufelisia
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)