Hingga kini, banyak
orang masih percaya bahwa sekolah adalah tempat menghasilkan ijazah untuk
menjamin masa depan anak-anak. Angka-angka pada ijazah maupun rapor dipercaya
penuh sebagai penentu nasib anak-anak. Orang tua sekarang akhirnya lebih suka
melemparkan tanggung jawab sepenuhnya kepada sekolah dan enggan membantu
pengajaran di bidang non akademik.
Padahal, apakah
seharusnya benar begitu?
***
Saya mengamati
orang-orang di sekeliling saya. Terutama sekali, mereka yang dahulu merupakan
juara kelas dan sejenisnya. Tentu, ada orang-orang yang berhasil bekerja
sebagai pegawai. Beberapa di
antaranya sudah menduduki posisi sebagai manajer hingga direktur. Beberapa
mantan siswa berprestasi agak ngoyo
saat kuliah hingga bekerja. Ada yang hingga kini jadi pengangguran, ada yang
masih mati-matian bekerja. Sementara yang lain cukup meneruskan usaha keluarga.
Anak dokter jadi dokter. Pemilik toko membuka toko. Dan seterusnya.
Ada sedikit sekali anak-anak
berprestasi ini yang berhasil menjadi pengusaha maupun berwiraswasta.
Kebanyakan dari mereka lebih nyaman bekerja di lingkungan teratur, kemudian
meraih gaji dan posisi tinggi. Mereka senang dipimpin, didikte, dan seterusnya.
Ketika mereka menghadapi
kegagalan memperoleh pekerjaan atau kesepakatan bisnis, tidak sedikit dari
mereka yang kemudian menjadi frustasi. Masalah pekerjaan pun merembet sampai ke
rumah. Tidak jarang, tidak sadar akan kelemahan mereka ini membuat emosi begitu mudah
tersulut. Beberapa orang yang saya kenal bahkan mengalami kehancuran rumah
tangga akibat dari gagal mengontrol emosi.
Ada lagi contoh-contoh
lain yang begitu dekat. Namun, orang-orang memilih untuk mengabaikannya.
Kenapa? Orang-orang lebih memilih bertahan pada tradisi dan kepercayaan lama.
Mereka memilih untuk menggantungkan nasib anak-anak mereka seratus persen pada
angka-angka di rapor dan ijazah. Di mana kemudian tanggung jawab ditanggung
sepenuhnya oleh pihak sekolah.
Sangat disayangkan,
banyak orang tua saat ini justru tidak memahami apa sesungguhnya tujuan
anak-anak memperoleh pendidikan.
Di masa lalu, Bangsa
Indonesia tidak mendapat kenikmatan bernama pendidikan. Pendidikan adalah salah
satu bagian dari politik etis atau politik balas budi yang terpaksa dilaksanakan
oleh Belanda. Padahal, kita semua tahu bahwa dulunya Belanda enggan memajukan
pendidikan di Indonesia. Pendidikan diperkirakan akan memunculkan benih-benih
nasionalisme dan semangat perjuangan untuk merdeka.
Jadi, bisa dibilang …
pendidikan sendiri dulu menimbulkan ketakutan dalam diri penjajah. Karena
pendidikan dapat membentuk patriotisme dan karakter-karakter pemimpin yang kuat.
Namun, untungnya …
politik etis tetap berjalan. Dari sini, kemudian hadir pemikir-pemikir dan
pendidik bangsa. Salah satunya tentu kita hafal dengan pasti, karena hari
lahirnya diperingati sebagai hari pendidikan.
Raden Mas Suwardi
Suryaningrat atau lebih dikenal Ki Hajar Dewantara. Pendiri Perguruan Taman
Siswa dan pencipta semboyan ‘Tut Wuri Handayani’ ini dikukuhkan sebagai
pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI pertama, Sukarno, pada tahun 1959
dan ditetapkan sebagai Bapak Pendidikan Indonesia.
Sumber gambar: Wien Muldian
Bagi Ki Hadjar,
pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter dalam diri peserta didik. “Bagi Ki
Hajar, kecerdasan memang diperlukan, tetapi karakter lebih diperlukan.
Kecerdasan tanpa diimbangi karakter akan menjerumuskan kehidupan anak didik itu
sendiri, “sebut Supriyoko seperti yang dikutip dari Kompas.com.
Karena itulah,
seharusnya keluarga tidak melemparkan tanggung jawab sepenuhnya kepada sekolah.
Sekolah memang penting. Sekolah melengkapi anak-anak dengan berbagai ilmu
pengetahuan. Guru-guru memiliki kemampuan di bidang pengajarannya
masing-masing. Anak-anak bisa belajar ilmu pengetahuan yang sangat variatif.
Anak-anak juga bisa belajar bersosialisasi bersama teman-teman sebaya, dan akhirnya
mendapat teman-teman dari berbagai latar belakang.
Sumber Gambar: pixabay.com
Namun, di sisi lain,
keluarga merupakan salah satu sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia
pendidikan dan kebudayaan. Orang tua memang tidak sempurna dalam semua mata
pelajaran. Akan tetapi, semua kebiasaan, perilaku dan sikap orang tua sangat
menentukan karakter anak di masa depan. Jadi, sesungguhnya … sekolah dan
keluarga adalah mitra utama bagi anak. Di mana mereka dapat diperlengkapi
dengan semua hal yang dibutuhkan untuk masa depan mereka.
Hadirnya teknologi
internet juga membawa banyak perubahan baru bagi pendidikan. Akhirnya,
menggantungkan nasib pada angka-angka ijazah semakin tidak menjamin. Anak-anak
kini tidak lagi harus menghafal semua catatan dan LKS untuk tahu suatu
pelajaran. Cukup dengan mengetik apa yang dicari pada laman google, semua hasilnya
akan muncul. Sistem pembelajaran kini tidak melulu melalui buku-buku cetak.
Namun, juga melalui youtube, Instagram, dan berbagai media sosial.
Dengan adanya kemudahan
belajar, banyak hal akhirnya lebih mampu dipahami ketika anak-anak daring
dengan gawai mereka. Bagaimana alam semesta terbentuk, bagaimana pesawat
dibuat, bagaimana perang dunia terjadi, semua bisa diakses melalui internet.
Hal ini sebetulnya sangat membantu kegiatan pembelajaran. Ketika anak-anak
mencapai satu titik ingin tahu, mereka pun bisa beralih mencari keterangan yang
lebih lengkap dari buku-buku digital atau buku-buku cetak. Dengan demikian,
anak-anak bisa paham betul mengenai satu masalah.
Sumber Gambar: pixabay.com
Peranan keluarga
akhirnya semakin diperlukan dalam hal menyaring apa yang dibutuhkan anak. Kemudahan
mengunggah dan mengunduh informasi kini malah memudahkan berbagai kejahatan di
dunia internet. Hoax bertebaran di mana-mana. Jangankan anak-anak, orang tua
pun banyak yang akhirnya terpengaruh isu-isu radikalisme. Hanya berbekal
keyakinan buta, beberapa orang tua memilih untuk menanamkan kebencian kepada
anak-anak mereka.
Tidak hanya benih-benih
radikalisme, ada banyak hal buruk di internet siap mengintai anak-anak.
Misalnya saja pornografi yang tidak hanya disajikan dalam bentuk gambar, namun
juga bebas diakses dalam situs berbagi cerita daring. Di sinilah, orang tua
sebaiknya hadir memberi pendampingan, bukannya memarahi. Memberi arahan pada rasa
penasaran anak dan menyesuaikan penjelasan sesuai dengan usia anak.
Perubahan memang terus
terjadi. Kita sebagai orang tua tidak mungkin terus mengisolasi diri dalam
nostalgia masa lalu. Mau tidak mau, anak-anak juga harus memiliki kemampuan
adaptasi. Dengan demikian, mereka bisa bertahan menghadapi perubahan zaman.
Dan di sinilah, kita
harus ikut belajar dan menerima kalau keluarga merupakan mitra sekolah
membentuk masa depan anak.
Kita pun ikut memikul
tanggung jawab atas masa depan anak.
Sumber Gambar: pixabay.com
Menjadi orang tua itu
memang tidak mudah.
Akan tetapi, alangkah
baiknya jika kita semua mencoba :)
#SahabatKeluarga
Putu Felisia.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)