Momwar terkait gerakan anti
vaksin hingga kini belum menemukan titik tengah. Mereka yang menolak vaksin ini
sebagian besar khawatir akan kandungan yang ada di dalam vaksin. Beberapa orang
tua percaya bahwa vaksin menggunakan babi yang diharamkan dalam ajaran Islam,
mengandung bahan berbahaya, hingga dipercaya sebagai propaganda dari Yahudi.
|
Dilema antara dosa dan kebutuhan.
Foto: Pixabay. |
Perang argumen tentang vaksin ini
sebenarnya bukan hal yang pertama kali terjadi. Di Inggris, gerakan ini sudah
dimulai sejak tahun 1800-an. Robert M. Wolfe dalam makalah “Anti-vaccinationists
Past and Present” yang terbit di British Medical Journal (2002) mencatat bahwa
London pernah menjadi pusat gerakan anti-vaksin. Setelah kesuksesan eksperimen
vaksin cacar, parlemen Inggris meloloskan Undang-Undang Vaksinasi 1840 yang
mewajibkan vaksinasi gratis. Sayangnya, kebijakan vaksinasi publik ini mendapat
tantangan yang keras di masyarakat. Pada 1867, didirikan Anti-Vaccination
League yang konon bertujuan melindungi kebebasan dan pilihan individu. Revisi
UU vaksinasi pada 1853 disambut oleh protes yang berujung pada kerusuhan di
Ipswich, Henley, dan Mitford. Pada 1885, 100.000 orang turun ke jalan memprotes
UU vaksin.
Di Rio de Janeiro, Brazil pernah
terjadi kerusuhan besar terkait gerakan anti vaksin. Pada 1904, Oswaldo Cruz,
seorang pejabat kesehatan publik di Brasil, mengerahkan pasukan untuk memaksa
warga kota Rio de Janeiro agar mau melakukan imunisasi. Imunisasi ini bertujuan
untuk menanggulangi wabah cacar, sakit kuning dan beberapa penyakit lain yang
menewaskan ribuan orang pada pergantian abad. Sayang, warga menolak keras
hingga menyulut kerusuhan. Sekitar 30 orang tewas dalam kerusuhan ini.
|
Vaksinasi memang hak individu, sayangnya satu keputusan bisa berakibat besar.
Foto: Pixabay. |
Umumnya, mereka yang menolak
vaksin memiliki banyak argumen berbeda. Dari yang mengatasnamakan kebebasan
individu, perintah agama, maupun ketakutan atas apa yang mereka anggap sebagai
bahaya vaksin. Di era modern, argumen penolakan dikuatkan dengan teori
konspirasi dan kecurigaan terhadap perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin. Munculnya
era internet kemudian menambahkan teori-teori pseudo-sains, misalnya dugaan
kalau vaksinasi menimbulkan autisme. Tren gaya hidup holistik dan pengobatan
herbal juga mendukung gerakan ini.
Dukungan para selebritis dan
politikus kemudian semakin memperluas jangkauan gerakan ini. Aktor Jim Carey,
Alicia Silverstone, dan Selma Blair merupakan sedikit dari pesohor anti-vaksin.
Sementara, Donald Trump pernah mendukung pandangan bahwa vaksinasi menyebabkan
autisme. Di Indonesia sendiri, ada Oki Setiana Dewi yang memilih tidak
memberikan vaksin kepada anak-anaknya.
Sayangnya, alih-alih bertujuan
untuk peningkatan kesehatan, gerakan anti vaksin ini lebih banyak menyebarkan
ketakutan kepada masyarakat. Para politikus sering menggunakan teori-teori
konspirasi pengurangan populasi hingga genosida medis untuk meraih popularitas.
Di saat yang sama, perilaku oknum pebisnis obat memperburuk sentimen anti
vaksin. Di Nigeria, prasangka anti-vaksin berkembang pesat lantaran kasus
percobaan vaksin Trovan oleh perusahaan Pfizer yang menyebabkan kematian lima
anak pada 1996. Vaksin tersebut ternyata masih berstatus eksperimental dan
diberikan tanpa kesepakatan dan informasi yang memadai kepada orangtua. Ketika
keluarga korban menuntut Pfizer, pengadilan New York malah melimpahkan kasus
ini ke pengadilan Nigeria.
Di balik pro kontra anti vaksin
ini, ada baiknya masyarakat memikirkan kembali pentingnya memberi vaksin pada
anak-anak. Agar vaksin dapat memberikan perlindungan efektif dari penyakit,
maka cakupannya dalam suatu populasi perlu mencapai tingkat tertentu. Ketika
banyak individu yang divaksin mereka akan saling menguatkan dengan mempersempit
ruang penyebaran bibit penyakit. Cakupan vaksinasi ini harus mencapai 80 persen
lebih. Kalau cakupan menurun, jadi 60 persen saja, wabah bisa muncul lagi.
|
Pertimbangan satu orang bisa menyeret satu populasi sakit sama-sama.
Foto: Pixabay. |
Dari sejarah, kita dapat melihat
bahwa vaksin diberikan dengan tujuan menanggulangi wabah. Mungkin, hari ini,
para orang tua masih bisa berkeras. Akan tetapi, jika wabah berulang, banyak
korban akan berjatuhan. Saat itu, baik tahmit, madu, kurma, herbal, maupun ASI
eksklusif tidak mampu menggantikan perlindungan yang diberikan oleh vaksin.
Sumber:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger.
Smg para antivaks tersadarkan dan ga menyebar hoax. krn ini masalahnya bukan cuma b uta sendiri, tp berjamaah
BalasHapus