Putu Felisia : Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari

Kamis, 29 November 2018

Pro Kontra Anti Vaksin: Dosa ataukah Perlindungan?


Momwar terkait gerakan anti vaksin hingga kini belum menemukan titik tengah. Mereka yang menolak vaksin ini sebagian besar khawatir akan kandungan yang ada di dalam vaksin. Beberapa orang tua percaya bahwa vaksin menggunakan babi yang diharamkan dalam ajaran Islam, mengandung bahan berbahaya, hingga dipercaya sebagai propaganda dari Yahudi.

Dilema antara dosa dan kebutuhan.
Foto: Pixabay.

Perang argumen tentang vaksin ini sebenarnya bukan hal yang pertama kali terjadi. Di Inggris, gerakan ini sudah dimulai sejak tahun 1800-an. Robert M. Wolfe dalam makalah “Anti-vaccinationists Past and Present” yang terbit di British Medical Journal (2002) mencatat bahwa London pernah menjadi pusat gerakan anti-vaksin. Setelah kesuksesan eksperimen vaksin cacar, parlemen Inggris meloloskan Undang-Undang Vaksinasi 1840 yang mewajibkan vaksinasi gratis. Sayangnya, kebijakan vaksinasi publik ini mendapat tantangan yang keras di masyarakat. Pada 1867, didirikan Anti-Vaccination League yang konon bertujuan melindungi kebebasan dan pilihan individu. Revisi UU vaksinasi pada 1853 disambut oleh protes yang berujung pada kerusuhan di Ipswich, Henley, dan Mitford. Pada 1885, 100.000 orang turun ke jalan memprotes UU vaksin.

Di Rio de Janeiro, Brazil pernah terjadi kerusuhan besar terkait gerakan anti vaksin. Pada 1904, Oswaldo Cruz, seorang pejabat kesehatan publik di Brasil, mengerahkan pasukan untuk memaksa warga kota Rio de Janeiro agar mau melakukan imunisasi. Imunisasi ini bertujuan untuk menanggulangi wabah cacar, sakit kuning dan beberapa penyakit lain yang menewaskan ribuan orang pada pergantian abad. Sayang, warga menolak keras hingga menyulut kerusuhan. Sekitar 30 orang tewas dalam kerusuhan ini.
Vaksinasi memang hak individu, sayangnya satu keputusan bisa berakibat besar.
Foto: Pixabay.

Umumnya, mereka yang menolak vaksin memiliki banyak argumen berbeda. Dari yang mengatasnamakan kebebasan individu, perintah agama, maupun ketakutan atas apa yang mereka anggap sebagai bahaya vaksin. Di era modern, argumen penolakan dikuatkan dengan teori konspirasi dan kecurigaan terhadap perusahaan farmasi yang memproduksi vaksin. Munculnya era internet kemudian menambahkan teori-teori pseudo-sains, misalnya dugaan kalau vaksinasi menimbulkan autisme. Tren gaya hidup holistik dan pengobatan herbal juga mendukung gerakan ini.

Dukungan para selebritis dan politikus kemudian semakin memperluas jangkauan gerakan ini. Aktor Jim Carey, Alicia Silverstone, dan Selma Blair merupakan sedikit dari pesohor anti-vaksin. Sementara, Donald Trump pernah mendukung pandangan bahwa vaksinasi menyebabkan autisme. Di Indonesia sendiri, ada Oki Setiana Dewi yang memilih tidak memberikan vaksin kepada anak-anaknya.

Sayangnya, alih-alih bertujuan untuk peningkatan kesehatan, gerakan anti vaksin ini lebih banyak menyebarkan ketakutan kepada masyarakat. Para politikus sering menggunakan teori-teori konspirasi pengurangan populasi hingga genosida medis untuk meraih popularitas. Di saat yang sama, perilaku oknum pebisnis obat memperburuk sentimen anti vaksin. Di Nigeria, prasangka anti-vaksin berkembang pesat lantaran kasus percobaan vaksin Trovan oleh perusahaan Pfizer yang menyebabkan kematian lima anak pada 1996. Vaksin tersebut ternyata masih berstatus eksperimental dan diberikan tanpa kesepakatan dan informasi yang memadai kepada orangtua. Ketika keluarga korban menuntut Pfizer, pengadilan New York malah melimpahkan kasus ini ke pengadilan Nigeria.

Di balik pro kontra anti vaksin ini, ada baiknya masyarakat memikirkan kembali pentingnya memberi vaksin pada anak-anak. Agar vaksin dapat memberikan perlindungan efektif dari penyakit, maka cakupannya dalam suatu populasi perlu mencapai tingkat tertentu. Ketika banyak individu yang divaksin mereka akan saling menguatkan dengan mempersempit ruang penyebaran bibit penyakit. Cakupan vaksinasi ini harus mencapai 80 persen lebih. Kalau cakupan menurun, jadi 60 persen saja, wabah bisa muncul lagi.

Pertimbangan satu orang bisa menyeret satu populasi sakit sama-sama.
Foto: Pixabay.

Dari sejarah, kita dapat melihat bahwa vaksin diberikan dengan tujuan menanggulangi wabah. Mungkin, hari ini, para orang tua masih bisa berkeras. Akan tetapi, jika wabah berulang, banyak korban akan berjatuhan. Saat itu, baik tahmit, madu, kurma, herbal, maupun ASI eksklusif tidak mampu menggantikan perlindungan yang diberikan oleh vaksin.

Sumber:





Putu Felisia
Novelis dan Blogger.

Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

1 komentar:

  1. Smg para antivaks tersadarkan dan ga menyebar hoax. krn ini masalahnya bukan cuma b uta sendiri, tp berjamaah

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)