Putu Felisia: Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari
Selasa, 11 Desember 2018
Nikotopia: "Mbak Putu, Jangan Nyerah..."
Foto dari Nikotopia (facebook)
Citra-citra itu membangkitkan
kembali kerinduan-kerinduan purba yang bersemayam dalam kedalaman jiwaku. Dan akhirnya,
aku memahami… untuk apa aku lahir ke dunia ini.
Seribu Tahun Mencintaimu –
Nikotopia
Kini, ada rasa sesak yang sama di
kala aku menatap hujan. Riuh pemberitaan kematianmu mengguncang jiwaku. Aku ingat,
saat itu aku sibuk menata hidup. Sementara aku tahu, dirimu selalu sibuk. Jadi,
begitulah kita terpisah dalam dua ruang berbeda.
“Jangan ‘nyerah,” itu yang
kerap kauucapkan. Meski aku telah berkali-kali hendak menyerah. Meski berkali-kali,
mentorku sendiri bilang, janganlah bermimpi jadi penulis lagi. Meski aku
berkali-kali telah mencoba keluar, kau selalu mengingatkanku.
Mas Niko, aku tahu… esensi hatimu
adalah tulisan-tulisanmu. Kau mencintai kesusastraan. Kau juga mengagumi sahabat-sahabat penulismu... tanpa iri hati.
Kau bilang, kau kagum padaku. Sebaliknya,
aku kagum oleh semangat dan keberanianmu. Kita kerap berbincang dengan sinis,
menertawakan kebijakan korporat yang memihak penulis tenar dan penulis
selebritis berfollower banyak. Namun, alih-alih memilih berpaling, kau justru
menegakkan bahumu. Kau bergabung dalam kepenulisan buku dan tayangan sinetron. Kau
bekerja mati-matian menuangkan isi hati dan pikiranmu yang tulus.
Dan sejak itu, aku tidak berani
mengejek sinetron lagi.
Kau mengetik chat dengan
terburu-buru. Kau mengetik pesan kala waktu istirahat makan—yang tidak
seberapa. Kau bilang, tengah malam kau masih rapat.
Ya, Allah… beginikah pekerjaan penulis-penulis
skenario sinetron menyedihkan itu? pikirku.
Aku kerap kaget. Aku mengingatkanmu
untuk menjaga kesehatanmu. Tapi seperti katamu, Mas Niko… industri melahapmu
dan penulis-penulis lain. Aku bahkan mulai lupa menanyakan kabarmu. Hingga satu
hari, aku melihat linimasamu begitu riuh.
انا لله وانا اليه راجعون. Inna
lillahi wa inna ilayhi raji'un. (sumber tulisan: Wikipedia)
Ya, Allah… aku terenyak dan
langsung syok. Buru-buru, aku melihat Whatsapp-ku. Mataku berkaca-kaca. Tiba-tiba,
aku ingat waktu kau mengirimkan pesan suara kepadaku. Bahkan di pesan itu,
suara empukmu begitu lantang mengatakan, “Jangan nyerah, Mbak Putu.”
Begitu banyak orang berduka atas
kepergianmu, Mas Niko. Di satu sisi, aku marah. Marah pada ritme jam kerjamu,
marah pada cintamu pada dunia kepenulisan. Aku juga sedih. Sedih dan menyesal
mengapa aku begitu sibuk ingin ke luar mencari penghidupan yang lebih baik,
hingga aku sempat melupakanmu.
Hari ini, kupandang langit dengan
sisa-sisa hujan di sana. Aku berusaha meresapi semangatmu, melebur bersama
cintamu terhadap dunia kepenulisan.
Damai bersamamu, Mas Niko. Kuharap,
spirit menulismu tetap hidup dalam hati sahabat-sahabatmu. Termasuk aku J
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)
Seorang penulis novel dan lifestyle blogger, seorang beauty and health enthusiast yang suka berbagi tentang kehidupan.
Turut berdukacita, Al Fatihah mas Niko
BalasHapus