Bagi
saya, menyongsong 2019 seperti menyambut tahun ketidakpastian. Terlalu banyak
kampanye hitam, hoaks, disertai dengan kenaikan harga gila-gilaan telah membuat
saya skeptis. Saya sempat meniatkan untuk golput. Akan tetapi, banyak hal kemudian
membuat saya berpikir lagi.
|
Gambar dari Situs Berbagi Pixabay.com |
Dalam
sebuah perjalanan ke Jakarta, saya dan teman-teman semobil dengan sopir taksi
pendukung salah satu paslon. Dari sekadar obrolan ringan, akhirnya si sopir
menyatakan dukungannya kepada paslon itu. Semua orang di mobil pun mengeluhkan
kondisi di masing-masing daerah. Apa yang tersiar di luar dan apa yang terjadi
di lapangan mendadak buram. Fakta dan kebohongan tumpang tindih sampai-sampai
tidak jelas kebenarannya.
Kebetulan,
si sopir mengaku pabriknya tutup/bangkrut di rezim ini. Fixed-lah, buatnya pemerintahan ini telah menyengsarakannya. Dengan
kemarahan berapi-api, si sopir menyerahkan semua ‘dosa-dosa’ itu kepada satu
orang: siapa lagi kalau bukan presiden sekarang. Dengan mengesampingkan
orang-orang di sekeliling presiden, semua kesalahan ditimpakan total kepada RI
1, dengan berbagai alasan.
Saya pun
teringat dengan Mama saya dan obrol-obrolnya di pasar. Semua mengeluhkan
kenaikan harga. Usaha Mama sendiri empot-empotan setelah RI 1 ini naik. Harga ayam
melambung, harga cabai lepas landas, bumbu-bumbu lain naik-naik ke puncak
gunung turunnya bentar-bentar aja.
Kecewa?
Ya, tentu saya kecewa, sebab saya dulu adalah pendukung beliau. Saya pikir,
dengan latar belakang beliau yang memang orang sipil, beliau mampu mengatasi
persoalan-persoalan rakyat sehari-hari. Sayangnya, apa yang terjadi tidaklah
sesuai harapan. Hidup yang biasanya nyaman semakin lama semakin sulit. Kalau bapak
sopir tadi menutup pabrik, suami saya ‘cukup’ menjual rumah karena tidak mampu
membayar hutang.
Tidak
ada hal yang lebih mudah dari menyerahkan semua tanggung jawab kepada satu
orang, bukan? Jadi, saya pun sempat marah dengan Bapak Presiden. Apa-apaan naik
sebentar sudah bikin banyak orang susah? Mengutip kata Bapak Sopir, kami tidak
makan infrastruktur! Kami cuma tahu, kami perlu makan!
Balik
lagi ke percakapan di taksi tadi, obrolan yang tadinya ramai oleh kawan-kawan
daerah lain kini mengarah ke saya. “Mbaknya bagaimana?”
“Nggak
tahu, Mas. Soalnya saya cuma tertarik dengan visi misi dan rancangan dari
Paslon,” ujar saya, “Kurang lebih, saya sudah tahu apa yang akan terjadi kalau
Paslon Anu naik lagi, ya… udah pasti buat saya nggak enaknya.”
Tentu,
Bapak Sopir tertawa menanggapi ujaran yang sebenarnya nggak lucu itu, “Makanya,
Mbak… 2019 kita harus ganti presiden!”
“Ya,
masalahnya kalau Paslon Anu udah jelas nggak enaknya, Paslon Una malah udah
jelas nggak pastinya,” jawab saya, “Antara nggak enak sama nggak
pasti ini benar-benar seperti buah simalakama.”
Bapak
Sopir ini sejenak tertegun. Saya pun tertegun. Pikiran saya masih mencerna
bagaimana bisa seorang manusia bisa menanggung ‘dosa-dosa’ dari satu bangsa. Apakah
memang semua ini memang salah satu orang ini saja?
Mendadak,
ingatan saya kembali ke serial drama sejarah kesukaan saya. Adegan-adegan yang
saya benci adalah ketika para pejabat mulai menentang raja dengan argumen-argumen
dan koalisi-koalisi. Kadangkala, pejabat-pejabat ini bahkan hanya menganggap
raja sebagai boneka.
Mengingat
ini sungguh membuat saya merasa muak. Apa gunanya raja yang baik kalau
pejabat-pejabatnya korup dan licik? Bagaimanapun sang raja memikirkan nasib
rakyat, para menteri hanya akan memikirkan nasib kekayaan mereka sendiri. Ketika
para menteri sibuk menimbun kekayaan, rakyat kelaparan menyalahkan raja atas
kemalangan mereka.
Ada juga
raja yang memang orangnya tiran. Sukanya bersenang-senang. EGP dengan nasib
rakyat. Mau rakyat lapar, biarin. Mau rakyat demo, tinggal ditebas aja. Para pejabat
nggak berani ngomong. Soalnya sekali ngomong, kepala melayang. Serem.
Di sisi
lain, ada juga yang raja dan pejabat-pejabatnya kompak. Kompak menindas rakyat
maksudnya. Tipe raja ini sudah kong kalikong dengan para pejabat. Pajak ditinggikan,
belum lagi upeti-upeti yang harus disetorkan kalau ingin aman. Raja dan para
pejabat hidup nyaman dalam pesta-pesta dan main perempuan. Di luar istana,
rakyat bekerja keras untuk menyetorkan hasilnya ke penguasa. Nggak adil? Emang.
Tapi mau bilang apa. Raja adalah raja. Rakyat dianggap cuma remahan rengginang.
Kesimpulan
yang saya ambil adalah: sebagus-bagusnya raja, kalau pejabatnya ngaco,
pemerintahannya bakal ngawur. Raja jahat tapi pejabat baik, pejabat baiknya
disingkirkan. Raja dan pejabat kompak jahatnya, yawes… rakyat sengsara bareng-bareng, penguasa senang
bareng-bareng.
Sistem
demokrasi seharusnya bisa mengatasi permasalahan ini. Dalam demokrasi, rakyat
memilih sendiri siapa wakil yang akan duduk di pemerintahan. Dari rakyat, oleh
rakyat, untuk rakyat. Prinsipnya bagus ini, soalnya kontrol pemerintahan jelas
di tangan rakyat, bukan penguasa. Presiden, menteri-menteri, wakil rakyat, pada
prinsipnya melayani rakyat. Bukan melayani diri sendiri atau seseebos di atas.
Sayangnya,
setelah pemerintahan Orde Baru yang cukup lama, banyak orang menjadi malas
menggunakan hak pilihnya. Gimana nggak malas, yang menang PEMILU ya itu lagi,
itu lagi. Lu lagi, lu lagi. Kan buang waktu banget.
Mama
saya sendiri sudah auto-golput sejak awal. Baginya, PEMILU tidak ada gunanya. Maklum,
beliau cukup lama hidup di zaman Orde Baru. Jadi, menurut beliau, tidak ada
faedah sama sekali selain mencoblos salah satu dari tiga pilihan parpol. Nyoblos
apapun, yang menang, ya… you know who,
lah.
Bagaimana
dengan zaman now ini? Inilah dia,
pemerintahan yang terbentuk dari masa awal reformasi hingga kini terlihat jelas
masih banyak kekurangan. Nggak ada pemerintahan ideal dari awal sampai
sekarang. Bisa dibilang, mungkin saat ini khalayak berada dalam titik muak. Terlebih
melihat kekurangan rezim sekarang yang berpusat pada masalah sentral setiap
kehidupan: harga-harga kebutuhan pokok.
Masalahnya,
apakah kekurangan-kekurangan ini dapat diperbaiki dalam PEMILU ini? Saya pun
masih bertanya-tanya. Ini beneran seperti gambling
dengan taruhan masa depan. Sementara pilihan yang ada sama sekali tidak ada
yang berkenan di hati.
“Jadi
gimana, Mbak? Saya sarankan Mbak doa dulu, deh,” akhirnya nada suara Bapak
Sopir melembut, “Kalau dalam agama saya, dianjurkan salat istikharah saat harus
mengambil keputusan yang sulit. Semoga bisa mendapat keputusan yang oke, ya …
Mbak.”
“Amin!”
kata kami bersama-sama.
“Kesadaran
berpolitik itu adalah hak setiap warga negara,” kata Mas Faiz teman saya.
Benar
juga.
Sayang
sekali, pemerintahan yang baik tidak muncul dengan sim salabim. Yang bisa kita
lakukan sebagai rakyat hanya berdoa dan berusaha melakukan hal yang kita mampu,
salah satunya adalah menggunakan hak pilih memilih sesuai nurani dan petunjuk
Tuhan.
Putu Felisia
Novelis dan Blogger.
|
Gambar dari situs berbagi Pixabay.com |
Mantap Mb Felis...
BalasHapus