Jelang
pengumuman rekapitulasi penghitungan suara KPU, di grup Whatsapp rekan-rekan
seiman, berembus sebuah kabar: dihimbau untuk menjauhi pusat-pusat perbelanjaan
atau keramaian karena ancaman teroris. Konon, himbauan ini dikeluarkan oleh
POLRI, BIN, dan lain sebagainya. Herannya, meski dari lembaga resmi negara,
pengetikan himbauan bisa-bisanya typo sekaligus mengabaikan kaidah EBI. Meski demikian,
berita ini cukup dipercaya hingga admin grup pun sepakat kami harus menjauhi
tempat ramai.
Di grup
yang lain, di waktu kejadian 22 Mei, terunggah banyak foto jenazah dan
video-video sadis. Tak lupa, foto dan video itu diberi narasi membangkitkan
emosi. Beberapa anggota grup akhirnya keluar karena debat tak bersolusi di
grup. Herannya, yang paling nyolot itu ternyata seorang yang sudah sepuh dan
memiliki posisi cukup tinggi.
Ini anehnya. Dalam satu grup, orang bisa berantem dan berdebat hanya karena satu kabar. Dari kabar membangkitkan emosi dan perdebatan ini, orang-orang bisa meninggalkan grup dan buntut-buntutnya jadi saling memusuhi.
Ini baru di grup Whatsapp, belum di kehidupan bermasyarakat pada umumnya.
Rasa persaudaraan pecah karena satu kabar, sungguh menyedihkan!
Sebenarnya,
himbauan dan berita di atas tersebut sudah dipastikan adalah hoaks.
Klarifikasinya bisa dilihat di bawah ini:
Di
luar 2 kasus di atas, ada cukup banyak ujaran kebencian bahkan dari teman-teman
penulis yang cukup saya kenal. Berhubung penulis yang menulis, tentu saja
mereka punya teknik mengemas opini mereka agar dapat dipercaya khalayak ramai. Seorang
penulis, dengan ilmu yang mereka miliki, tentu dapat menyusun kata-kata
sedemikian rupa untuk meyakinkan orang. Pun seorang penulis novel akan
dikatakan berhasil kalau bisa membawa pembaca larut dalam cerita mereka. Jadi,
penulis ini paling bahaya kalau menyebarkan hoaks karena lebih berpotensi
meyakinkan orang.
Satu
contoh, seorang penulis novel terkenal mengemas opini tentang wajah kepolisian
dengan cantik. Di tengah viralnya pemberitaan polisi menggebuki bocah (yang
belakangan terbukti sebagai hoaks) beliau membuat sebuah tulisan menyentuh tentang
bagaimana beliau merindukan sosok polisi yang ramah. Dengan membaca opininya
ini mau nggak mau, saya jadi berpikir mungkin yang dia bilang ada benarnya. Mungkin, polisi memang harus ramah setiap
saat, tak peduli yang dia hadapi adalah penjahat brutal yang tak ambil pusing
menghilangkan nyawa orang lain. Pokoknya, polisi harus bak malaikat: ramah, mengalah, dan
pantang melawan.
Dan saking
cantik pengemasannya, saya pun jadi setuju dengan pendapat ini.
Tidak
mau kalah dengan penulis di atas, penulis-penulis lain pun berlomba-lomba
marah-marah di media sosial mereka. Mengunjungi facebook tanggal 22 Mei kemarin itu kayak lihat pertempuran
Bharatayudha pecah. Isinya eyel-eyelan dan segala teori konspirasi yang nggak
kalah dari novelnya Dan Brown. Saya jadi bingung, apakah mereka ini benaran
berbakat jadi detektif, atau daya imajinasinya terlalu luar biasa.
Tak
heran, akibat penyebaran hoaks dan provokasi massal yang dilakukan banyak orang
(termasuk yang sebenarnya tidak terlibat langsung dengan para elit politik),
Kominfo akhirnya membatasi layanan media sosial. Sik lah, daripada malah memicu kerusuhan, mending sumbernya
dihentikan. Rasain, deh, nggak bisa marah-marah dan sebar teori-teori
cocoklogi.
Malangnya,
akibat pembatasan layanan ini, perdagangan online rugi hingga milyaran rupiah. Yang
bikin hoaks ketawa puas, yang nyebarin marah-marah karena nggak bisa nyebarin
lagi, tapi pedagang online yang paling sial. Orang lain marah-marah, mereka
yang nggak bisa kerja.
Tentu
saja, lagi-lagi yang disalahkan adalah pemerintah yang tidak becus menghadapi
kemarahan rakyat (katanya) dan Kominfo yang sewenang-wenang, sengaja
menyusah-nyusahkan rakyat, dan lain sebagainya.
Kalau
ditelusuri dari asalnya, semua kejadian ini berakar dalam justru karena
hoaks-hoaks yang begitu subur disebarkan oleh masyarakat, bahkan mungkin oleh
kita sendiri. Tanpa sadar, masyarakat begitu mudah menekan tombol share untuk berita yang mereka suka, tak
peduli bahwa berita itu cacat dari segi jurnalistik atau tidak memiliki sumber
yang valid. Pokoknya, kalau sudah sesuai selera, maka langsung saja jari ini
gatal untuk membagikan.
Padahal,
alih-alih memberi manfaat, penyebaran hoaks justru lebih banyak mudaratnya. Contohlah
di kasus pemblokiran layanan media sosial kemarin. Jadi ingat kalau dulu ada
beberapa teman di kelas ribut, yang dihukum satu kelas. Yang rugi banyak, tapi
yang ribut masih bisa haha-hihi, yang penting dihukumnya ramai-ramai. Sebal,
kan?
Jadi,
ada baiknya sebelum sebar-sebar sesuatu dipikirkan dalam-dalam dulu. Tarik napas
dulu. Perhatikan emosi dulu. Kalau udah mulai tenang, langsung tanya diri
sendiri: Ini bermanfaat atau justru bikin orang berantem?
|
sumber foto: Indonesia Baik |
Nah,
buat yang masih bingung gimana cara mengecek kebenaran berita, ini ada sedikit
tips dari laman Kominfo:
1. Hati-hati dengan judul
provokatif
Berita
hoaks seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan
langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari
berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai
yang dikehendaki sang pembuat hoaks.
Oleh
karenanya, apabila menjumpai berita denga judul provokatif, sebaiknya Anda
mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian
bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya Anda
sebabagi pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.
2. Cermati alamat situs
Untuk
informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat
URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai
institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa
dibilang meragukan.
Menurut
catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia
yang mengklaim sebagai portal berita.
Dari
jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai
300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan
berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
3. Periksa fakta
Perhatikan
dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi
seperti KPK atau Polri? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi
berasal dari pegiat ormas, tokoh politik, atau pengamat.
Perhatikan
keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa
mendapatkan gambaran yang utuh.
Hal
lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan
fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan
bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga
memiliki kecenderungan untuk bersifat subyektif.
4. Cek keaslian foto
Di
era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa
dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya
pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.
Cara
untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google,
yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil
pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet
sehingga bisa dibandingkan.
5. Ikut serta grup diskusi
anti-hoaks
Di
Facebook terdapat sejumlah fanpage dan grup diskusi anti hoax, misalnya Forum
Anti Fitnah, Hasut, dan Hoaks (FAFHH), Fanpage & Group Indonesian Hoaks Buster,
Fanpage Indonesian Hoaxes, dan Grup Sekoci.
Di
grup-grup diskusi ini, netizen bisa ikut bertanya apakah suatu informasi
merupakan hoaks atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan
oleh orang lain. Semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi
layaknya crowdsourcing yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
Tapi,
gimana kalau masih emosi?
Gimana
kalau masih percaya media dikendalikan ini dan itu?
Gimana
kalau udah nggak percaya wartawan?
|
sumber gambar: pixabay.com |
Well,
kalau gini, jalannya cuma satu: daripada sebar berita yang belum jelas
kebenarannya, lebih baik ambil air, cuci muka/wudhu, terus ibadah dan berdoa
sama Tuhan, minta hikmat dan petunjuk-Nya.
Silakan
nggak percaya sama manusia. Tapi TUHAN tetap yang paling bisa dipercaya. Tuhan
itu adil! Lebih adil dari sistem dunia!
Berhenti jadi agen penyebaran hoaks!
Waspadalah dengan apa yang kautulis dan sebar!
Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan blogger
Apa mungkin lebih baik untuk kata-kata tertentu yang sensitif disensor dan masuk blacklist Kominfo agar tidak semudah itu disebarkan?
BalasHapus