"The early childhood plays a very
important role establishing a solid base for the child’s overall growth and
development.
Therefore, we believe in a curriculum
that enables children to reach their fullest potential at their own pace. We
are committed to provide a developmentally appropriate program based on
children’s strengths, needs and abilities that form the basis of learning."
Apple Tree Preschool
|
Apple Tree Gatsu Barat, Denpasar.
Sumber: google.map. |
Beberapa waktu lalu, saya bertemu
seorang ibu-ibu. Dia memperkenalkan diri sebagai ibu dari seorang anak yang
kini memasuki usia PAUD. Mengingat saya memperkenalkan diri sebagai narablog
yang puji Tuhan sempat mengikuti acara Malam Apresiasi Pendidikan Keluarga
Kemdikbud, si ibu pun bertanya kepada saya: “Sebenarnya, yang terpenting dalam
mendidik anak itu apa, sih?”
Ini pertanyaan yang menarik.
Kebanyakan ibu-ibu yang saya kenal
biasanya lebih suka membahas sekolah mana yang bisa membuat anak mereka menjadi
anak yang pintar. Lagi-lagi, rujukannya ke mana lagi kalau bukan ke nilai
rapor. Sepanjang nilai rapor anak-anak itu baik dan memuaskan, maka orang tua
pun akan acuh tak acuh kepada masalah lainnya.
Hingga kini, nilai rapor masih menjadi
standar bagi para orang tua untuk perkembangan anak mereka. Para orang tua
sering kali lebih risau memikirkan nilai yang anjlok, alih-alih memikirkan
apakah anak mereka menikmati waktu di sekolah dan menerima apa yang mereka
butuhkan untuk masa depan mereka (di luar ijazah dan nilai rapor).
|
Saya menanyakan mengapa nilai rapor seakan-akan selalu menjadi yang utama.
Foto: Sahabat Keluarga Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan |
Padahal, tentu saja masa depan
seseorang tidak bergantung sepenuhnya pada nilai rapor semata. Ada banyak hal
yang menunjang perkembangan anak-anak. Pendidikan di dalam keluarga adalah
salah satunya.
Sebagai orang tua, kita sering kali
harus mengingat tugas-tugas dan kewajiban utama sebagai orang tua. Selain
memenuhi kebutuhan primer (sandang, pangan, papan), mengurus biaya-biaya
pendidikan atau hal-hal material lainnya, kita juga memiliki kewajiban memenuhi
kebutuhan emosional anak-anak dan menyediakan tempat yang ‘aman’ untuk
anak-anak kita sendiri.
Dalam proses tumbuh kembang, kehadiran
kedua orang tua sangatlah penting. Ketidak hadiran salah satunya dapat
berpengaruh buruk pada perkembangan psikologis anak, terutama perkembangan
sosial emosional mereka.
Dalam studi yang dilakukan oleh Kalter
dan Rembar dari Children’s Psychiatric Hospital, University of Michigan, AS,
dari 144 sampel anak dan remaja awal yang orangtuanya bercerai, ditemukan tiga
masalah utama.
Sebanyak 63 persen anak mengalami problem psikologis subyektif, seperti
gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi. Sebanyak 56
persen kemampuan berprestasinya rendah atau di bawah kemampuan yang pernah
mereka capai pada masa sebelumnya. Sebanyak 43 persen melakukan agresi terhadap
orangtua.
(data dari Kompas.com, 2010).
Dilansir dari fathers.com, anak-anak
dari keluarga fatherless (kehilangan sosok ayah) berpotensi hidup dalam kemiskinan,
mudah terpengaruh alkohol maupun narkoba, dikeluarkan dari sekolah, dan
terganggu kesehatan tubuh dan jiwanya.
Ketidak hadiran ibu sendiri juga bisa
menimbulkan banyak masalah. Dalam banyak kejadian, anak-anak yang merasakan kurangnya
kehadiran ibu mereka akan
mengalami kemarahan.
Kemarahan dan perasaan ditinggalkan ini dapat menyebabkan perubahan suasana
hati atau agresi fisik, yang menyebabkan kesulitan di sekolah atau ketika
berinteraksi dengan teman sebaya.
Anak-anak yang terpisah dengan ibunya
di usia lebih dini juga berpotensi hiperaktif dan meningkatkan kenakalan
mereka. Absennya ibu membuat anak merasa tidak ada yang memantau perilakunya. Selain
itu, anak mungkin membiarkan perasaan marah atas ketidakhadiran ibu untuk membawanya
bertindak dan memberontak terhadap orang tua yang tersisa, menyebabkan dia
terlibat dalam perilaku nakal.
Menjawab pertanyaan ibu-ibu di awal
cerita tadi, yang terpenting dalam pendidikan anak usia dini (menurut saya)
adalah:
kehadiran orang tua.
Kita tidak boleh meremehkan kehadiran
orang tua untuk mendampingi anak. Tidak hanya hadir secara fisik, orang tua
juga perlu memberikan waktu, fokus, dan pikiran untuk anak-anak. Milikilah quality time yang benar-benar didedikasikan untuk anak.
Alih-alih memaksa anak belajar (bahkan
tak jarang menggunakan kekerasan) agar mendapat nilai bagus, orang tua juga
perlu memperhatikan perkembangan di luar perkembangan akademis. Perkembangan
kognitif misalnya. Tidak perlu susah-susah, untuk mengasah perkembangan
kognitif, orang tua bisa mengajak anak bernyanyi, jalan-jalan, belajar memilih,
atau bermain dengan benda-benda yang ada di rumah. Sesekali, kita juga bisa
membantunya belajar membaca, menulis dan berhitung.
Mengajak anak berbincang-bincang dan
berolah raga bersama juga bisa membantu perkembangan bahasa dan fisik pada anak.
Nantinya, perkembangan bahasa akan sangat mempengaruhi kecerdasan literasi di
masa depan. Berolah raga bersama orang tua juga bisa menjadikan olah raga
sebagai hobi dan waktu yang menyenangkan. Anak pun bisa menyukai olah raga di
masa depan.
Lalu untuk kemampuan bersosialisasi
dan mengelola emosi, tentu hal ini lebih baik diajarkan lewat teladan tindakan,
bukan sekadar perintah yang bersifat menggurui. Contoh: percuma saja memarahi
anak suka marah dan melawan orang tua jika orang tuanya sendiri suka
marah-marah dan tidak mau mendengarkan pendapat anak.
Hadirlah selalu untuk anak-anak kita.
Bagaimanapun, anak-anak akan berjalan menuju masa depannya sendiri. Bagaimana
masa depan itu terbentuk, marilah kita mulai merencanakannya sejak dini.
|
Anak saya, Raynathan
Foto: dok.pribadi |
Anakmu
bukanlah milikmu,
mereka
adalah putra putri sang Hidup,
yang
rindu akan dirinya sendiri.
Mereka
lahir lewat engkau,
tetapi
bukan dari engkau,
mereka
ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.
Berikanlah
mereka kasih sayangmu,
namun
jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab
pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut
kau berikan rumah bagi raganya,
namun
tidak bagi jiwanya,
sebab
jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang
tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun
dalam mimpimu.
Engkau
boleh berusaha menyerupai mereka,
namun
jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab
kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun
tenggelam ke masa lampau.
Engkaulah
busur asal anakmu,
anak
panah hidup, melesat pergi.
Sang
Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia
merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga
anak panah itu melesat jauh dan cepat.
|
Anak saya, Stevan.
Foto: dokumen pribadi. |
Bersukacitalah
dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab
Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana
dikasihiNya pula busur yang mantap.
Kahlil Gibran
|
Keluarga yang saya pernah impikan.
Foto: dok. pribadi |
Penulis:
Putu
Felisia
Novelis dan Blogger
Nominee
Lomba Blog Keluarga Tahun 2018 Kemdikbud
#appletreebsd
Daftar Pustaka:
https://nasional.kompas.com/read/2010/04/02/0915433/efek.ketidakhadiran.ayah.buruk diakses 6 Mei 2019.
http://fathers.com/statistics-and-research/the-consequences-of-fatherlessness/
diakses 7 Mei 2019
https://www.modernmom.com/79653770-3b45-11e3-8407-bc764e04a41e.html diakses 6 Mei 2019.
#appletreebsd
Untuk para calon orang tua juga perlu banget nih..thanks buat penulisnya
BalasHapusTerima kasih :)
HapusSetuju mbak, kehadiran orang tua memang tak tergantikan dalam mengasuh anak. Terima kasih sharingnya.
BalasHapusBetul sekali, Mbak. Semoga kita semua bisa menjadi orang tua yang baik. Amiiin ^^
HapusGreat article mbak. Thanks for sharing
BalasHapusThank you sudah mampir, Mbak Watiek ^^
HapusTerimaksih, artikelnya sangat nermanfaat dan menginspirasi
BalasHapusTerima kasih, Pak Sunu ^^
HapusAduh peranbirang tua emank berat ya. Jangan sampai kita membuat anak tumbuh tanpa orang tua meski kita masih hidup. Makasih artikelnya, Sis
BalasHapusBetul sekali, Sis. Anak-anak tidak hanya butuh orang tua secara fisik dan materi, tapi juga secara emosi ^^
HapusThanks for sharing mbak. Manfaat sekali. Keren.
BalasHapusTerima kasih ^^
HapusArtikel yanh keren. Semangat Ce Fei.
BalasHapusMakasih, Mak Catz ^^
HapusTengkyu sudah mampir ^^
Artikelnya mengingatkan saya untuk tetap berada dekat anak-anak. Terima kasih mbak.
BalasHapusTerima kasih kembali, Mbak. Selamat melewati quality time bersama anak ^^
HapusArtikelnya mengingatkan saya untuk tetap berada dekat anak-anak. Terima kasih mbak.
BalasHapusWah keren nih, edukatif
BalasHapusMatur nuwun ^^
HapusBetuuul.. Thx for remind me mb..
BalasHapusSemangat, Mbak ^____^
HapusTulisan yang bagus. Tapi jadi sedih mengingat pada kenyataannya nilai dan segala prestasi itu masih jadi ukuran...hiks.
BalasHapusSejujurnya, ngeri (dan agak nggak terima) membaca hasil penelitian tentang anak-anak dari ortu yang bercerai. Seolah nggak ada yang berprestasi. Seolah perceraian mutlak berdampak buruk bagi anak. Semoga itu cuma seolahnya ya.
BalasHapusTulisannya bagus mbak... Memang miris sih di Indonesia, anak-anak sekecil itu sudah diharuskan berkompetisi dengan standar yang sama. Padahal kan setiap anak bisa jadi punya bakat yang berbeda-beda. Dan alangkah baiknya pendidikan anak usia dini itu lebih ditekankan pada pembentukan karakter anak
BalasHapus