Putu Felisia: Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari
Minggu, 23 Juni 2019
Menghadapi Toxic Masculinity: Ini adalah Tantangan Kita Semua
Tempo
hari, saya keluar sama Nathan (cowok, 13 tahun). Kami melewati sebuah poster
film bertajuk FROZEN 2. Tahu, kan, filmnya tentang apa? Itu, lho… tentang
Princess Elsa dan Princess Anna. Dulu, waktu anak-anak kecil, mereka pada suka.
Lagunya bagus. Gambarnya cerah. Apalagi, moral ceritanya juga bagus: tentang
persaudaraan.
Di luar
dugaan, bocah remaja saya itu nyeletuk dengan muka agak jijik, “Kalau Nathan
nonton itu, nanti Nathan jadi cewek!”
Saya tertegun
sejenak, lalu saya bertanya, “Kalau Mama nonton film mobil-mobilan atau film action,
apa otomatis Mama jadi cowok?”
“Tapi
nanti kalau jadi cengeng gimana? Nathan jadi bencong, dong?”
“Mana
ada orang jadi (maaf) bencong gara-gara nangis doang?" jawab saya, "Nangis kebanyakan memang
nggak baik. Tapi kalau nangis sesekali, wajar aja. Manusia yang nggak bisa
nangis malah nggak normal, lho.”
Sekilas,
tampaknya apa yang diterima Nathan itu wajar. Banyak keluarga menanamkan kepada
anak sejak kecil: anak cowok nggak boleh main masak-masakan, atau anak cowok
nggak boleh nangis, anak cowok nggak boleh mengurus kulit dan muka, anak cowok
harus gahar dan pantang bersikap lemah lembut.
Kata orang: Cowok harus gahar!
Gambar dari situs berbagi pixabay.
Makanya,
dalam dunia fiksi, tokoh bad boys itu
mudah sekali dapat penggemar. Sikap nakal bahkan cenderung sadis menjadi begitu
keren dan para penonton maupun pembaca buku akan klepek-klepek lihat gaya bad ass sang jagoan.
Sayangnya,
dunia fiksi adalah dunia fiksi. Kita hidup bukan di dunia fiksi, melainkan di
dunia nyata. Saya pun baru tahu, ada istilah untuk tingkat maskulinitas
meracuni ini.
Maskulinitas bisa beracun juga.
Gambar dari situs berbagi pixabay.com.
Istilah ‘toxic masculinity’ ini saya kenal ketika seorang teman
memberi lini video iklan Gillette yang menuai banyak kontroversi.
Buat
yang belum tahu, videonya bisa dilihat di sini:
Dalam
kampanye baru ini, Gillette menambahkan slogan baru: ‘We believe: The Best Men
Can Be’ pada slogan jangka panjang mereka: ‘The Best a Man Can Get’. Iklan ini
juga menantang penonton untuk mengonfrontasi kampanye #MeToo dan
masalah-masalah toxic masculinity yang lekat dengan kekerasan maupun pelecehan
semacam catcalling (suit-suitin perempuan—tadi siang aja saya kena, bo :s)
Iklan
ini juga berusaha melawan mentalitas ‘boys will be boys’ alias ‘namanya cowok,
ya, emang gitu’ yang sudah mengakar begitu lama di masyarakat, termasuk budaya
misoginis kaum lelaki.
Sayangnya,
alih-alih diterima masyarakat, iklan ini malah menuai kontroversi hingga ajakan
memboikot Gillette. Penentangan ini terjadi bahkan di negara maju seperti
Amerika Serikat.
Ternyata di Amerika Serikat juga banyak yang setuju toxic masculinity.
Gambar dari situs berbagi pixabay.com
Apa itu toxic masculinity?
Toxic
masculinity, maskulinitas beracun, atau ‘ideologi maskulinitas tradisional’
adalah kelakuan-kelakuan yang didasarkan dari keyakinan-keyakinan berikut:
Emosi
harus dihilangkan dan perasaan tertekan harus ditutupi sekuat mungkin.
Hati
seharusnya keras, bukan lembut.
Kekerasan
(violence) adalah lambang kekuatan (pemikiran yang dipegang: inilah mental
seorang pria jantan/tangguh).
Dengan
kata lain, toxic masculinity ini meyakinkan anak laki-laki bahwa mereka tak
boleh mengekspresikan emosi secara terbuka dan mereka juga harus keras hati
sepanjang waktu. Dalam keyakinan ini, dipercaya kalau seorang anak laki-laki
melakukan hal di luar itu, maka anak itu akan menjadi ‘feminin’ atau lemah.
Mengapa Toxic Masculinity bisa berakibat buruk?
Yang pertama,
sebagai manusia biasa, tidak ada seorang pun yang mampu melenyapkan semua
emosi. Berusaha menghilangkan kesedihan atau menyembunyikan perasaan tertekan
hanya akan membuat seseorang semakin terluka, menutup diri, bahkan menjadi
depresi. Hal ini sama sekali tidak ada hubungan dengan jenis kelamin. Namun,
terkait dengan keterbatasan manusia dan kebutuhan manusia untuk mencari
bantuan/pengobatan.
Kedua,
penanaman kepercayaan ‘lelaki haruslah keras hati’ akan memunculkan
lelaki-lelaki yang tidak memiliki empati. Hal ini tidak hanya berlaku antara
lelaki-perempuan, tapi juga antar lelaki. Mungkin saja, saat ada teman lelaki
kesusahan, penganut paham toxic masculinity ini justru menertawakan atau
semakin menyudutkan dengan paham, ‘lelaki macho itu nggak nangis’ dan seterusnya.
Hilangnya
rasa empati ini di masa depan bisa menimbulkan pengabaian kepada pasangan dan
anak-anak, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan mendorong seorang ayah untuk
melanjutkan pola pemikiran ‘seorang lelaki haruslah keras dan dingin’ kepada
anak-anaknya.
Memandang
kekerasan (violence) juga akan sangat berakibat buruk pada lingkungan. Bisa dilihat,
kekerasan seksual dan pelecehan masih saja terjadi. Belum lagi perundungan di
lingkungan sekolah di mana lelaki yang kuat cenderung menindas yang lemah. Hal ini
juga dapat menimbulkan tawuran karena orang cenderung menganggap perkelahian
itu sebagai hal yang ‘keren’.
Ada yang anggap berkelahi itu jantan dan kalau nggak mau tawuran dianggap sebagai pengecut.
Gambar dari situs berbagi pixabay.com
Apa saja yang bisa kita lakukan untuk memutus ikatan Toxic
Masculinity?
Yang
jelas, kita bisa memulai dari keluarga. Jika kita memiliki anak laki-laki, kita
bisa mengajarkan hal-hal sebagai berikut:
Pengelolaan Emosi
Awalnya,
kita bisa menjelaskan bahwa emosi merupakan bagian dari perasaan yang memang
ada dalam diri manusia. Alih-alih berusaha menekan, menyembunyikan, atau
menghilangkan emosi, lebih baik belajar bagaimana mengontrol emosi. Mengenai bagaimana
mengontrol emosi, orang tua bisa belajar melalui buku maupun internet.
Mengingatkan kembali tentang Tata Krama
Kita
perlu menjelaskan bagaimana seharusnya anak-anak lelaki memperlakukan perempuan
dan sesama lelaki. Selain mengajarkan, orang tua juga wajib menjadi contoh dan
teladan yang baik. Anak adalah peniru yang baik. Tak mungkin menyuruh anak
menghormati orang kalau orang tuanya sendiri suka merendahkan orang.
Memberi Tahu Akibat Kekerasan (fisik maupun verbal) dan Meyakinkan
Kalau Ikut-ikutan Kekerasan bukanlah hal yang ‘keren’.
Hal
ini bisa dimulai dari hal sederhana: mengatakan, “Nggak mau, kan … dibilang
ganteng-ganteng kok ngomongnya kasar begitu?’ hingga mengatakan sanksi-sanksi
hukum kalau anak ikut tawuran.
Pelaku kekerasan bisa dipenjara!!!
Gambar dari situs berbagi pixabay.com
Semua ini soal pilihan!
Hidup
di masyarakat yang sudah terlanjur memegang kepercayaan toxic masculinity ini
memang tidak mudah. Antara jadi pelaku yang melestarikan kepercayaan ini, atau
menjadi pengubah tradisi dan pemikiran ini, kitalah yang menentukan.
Akan di
sisi manakah kita berdiri?
Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger
Ajarkan anak-anak hidup berdampingan dan selalu berempati.
Gambar dari situs berbagi pixabay.com.
Daftar Pustaka:
Chakra, Fita. Super Handbook for (Super) Teens:
Boys. 2014. Solo: Penerbit Metagraf.
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)
Seorang penulis novel dan lifestyle blogger, seorang beauty and health enthusiast yang suka berbagi tentang kehidupan.
Ya ampun, iklan keren kayak gitu diboikot? Kok parah ya? Sedih..
BalasHapus