“Cowok tuh harusnya main GTA! Bukannya main
masak-masakan! Cih! Banci!” ledek
mereka, “Cowok kok cemen!”
Membuka restoran adalah cita-cita Yuda sejak
kecil. Dia suka main masak-masakan. Dia juga lebih suka belajar memotong bawang
daripada menghafalkan perkalian. Sayang, baik orang tua, saudara-saudaranya,
maupun guru-gurunya di sekolah tidak pernah ada yang mendukung Yuda. Bahkan
teman-temannya sering meledek Yuda dengan sebutan setengah laki. Apalagi, waktu Yuda ketahuan main kafe-kafean di
ponselnya.
|
foto dari situs berbagi pixabay.com |
"Pede amat kamu, ya!”
Gadis itu berdiri tegak. Matanya memelototi
laki-laki di depan, “Kamu pikir kamu siapa, hah?”
“Mantan pacarmu?”
Ariani memindai Yuda dari atas ke bawah.
Kulit yang semakin putih, tubuh yang semakin kekar … agaknya laki-laki ini
terlalu sibuk mengurus dirinya di gim. Masa, sih … dia bisa menghabiskan waktu
berlama-lama di dapur!
“Hadiahnya 250.000 US Dollar, lo,” Yuda
mengembangkan senyum manisnya, “Kalau dirupiahkan, itu 3 milyar lebih. Dibagi
dua masih banyak, tuh.”
Kakin
kumpi! Ariani menyumpah-nyumpah di dalam hati, “Kalau hadiahnya
gede gitu, kenapa nggak ikutan aja sendiri? Kan enak, hadiahnya nggak usah
dibagi-bagi,” Ariani berkata sinis.
“Nggak bisa gitu. Ini perlombaannya buat
pasangan yang punya hubungan khusus.”
“Hah? Emang ada perlombaan gitu?”
“Ada.”
“Terus, menurutmu kita punya hubungan
khusus?”
Yuda tidak menjawab. Dia malah
menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
“Kamu nggak mikir aku pilihan terakhir karena
kamu nggak mungkin pasangan sama kangguru, kan?”
Cengiran Yuda makin lebar. Kali ini, Ariani
mengangkat sebelah kaki lalu membuka sepatu. Yuda jelek ini perlu banget dikasih
pelajaran! Cowok berengsek!
Syut!
Plok!
Sepatu itu melayang sebelum mendarat di
hidung Yuda. Hitam arang pada sepatu itu menjejak di ujung hidung Yuda, membuat
noda hitam menggelikan. Ariani langsung tertawa melihat hidung mancung itu kini
terlihat mirip dengan hidung badut.
“Sadis kamu, Ri!” Yuda meringis menahan
sakit.
“Kamu yang sadis, Da! Giliran nggak butuh,
pergi. Giliran perlu, baru balik ke Indonesia!” Ariani berkata lantang, “Kamu
pikir kami ini apa? Pernah nggak, kamu ‘mikir, gimana keadaan kami yang kamu
tinggalin di sini? Bapak kamu, ibu kamu … pernah nggak, sekali aja kamu ingat
kalau mereka butuh kamu? Pernah? Nggak, kan?”
Hati cowok itu membenarkan kata-kata Ariani. Bisa
dibilang, Yuda memang tidak mau memikirkan keadaan keluarganya di Indonesia.
Kuliah di luar negeri itu menyenangkan. Bahkan bisa dibilang, dia bangga
terlihat lebih superior daripada orang-orang yang terjebak di Indonesia. Masyarakat yang terkungkung dalam
tradisi-tradisi lama, tafsir-tafsir agamawi, dan pola pikir masyarakat yang
menurut Yuda minim rasa kemanusiaan dan enggan maju menerima perubahan zaman.
Ya, menurutnya … Indonesia memang seperti
itu.
Jadi, menjadi warga negara Indonesia bagi
Yuda adalah keterpaksaan, bukan kebanggaan.
Ini nggak salah, kan?
*
Ketika Collin memanggilnya untuk tahap kedua
audisi di Sydney, Yuda senang sekali. Dengan mengerahkan semua teknik
memasaknya, dia tiga hidangan menggugah selera: sup rumput laut, chicken marengo, dan panna cotta. Yuda sudah mencicipi semua
hidangannya. Semuanya sangat lezat dan sekelas restoran kelas atas.
Jadi, Yuda sangat percaya diri saat membawa
hidangannya ke depan Collin. Dengan senyum terkembang, dia menjelaskan
hidangan-hidangannya kepada juri yang terkenal galak tersebut.
Collin menyendok sup rumput lautnya. Collin
mencicipi chicken marengo-nya. Dan
akhirnya, ketika panna cotta selesai
dicecap, barulah Collin memberikan komentarnya.
“Yuda Nugroho,” nama ini terdengar aneh di
lidah Collin, “Saya mengagumi hidangan Anda. Semuanya dibuat dengan kematangan
sempurna, dengan penataan yang cantik ….”
Hidung Yuda kembang-kempis mendengar
kata-kata Collin. Yes! Sedikit lagi,
dia bisa mengenakan apron Master Culinary itu! Yes! Seluruh Australia akan menonton pertarungannya melawan koki
rumahan lain! Tak lama lagi, dia akan menjadi chef terkenal di Australia!
“Tapi ….”
Collin menarik napas. Dengan tatapan
prihatin, dia menatap sisa hidangan di depannya. Bibir juri itu bergerak-gerak,
sementara satu alisnya naik.
“Kalau boleh saya memberi saran,” kata-kata
Collin beserta ekspresinya itu langsung membuat Yuda deg-degan. Para peserta
sudah diberi tahu kalau posisi yang tersisa hanya satu posisi. Pesaing Yuda
adalah seorang dosen dari Filipina.
“Dibandingkan
Mikkel, rasa makanan Anda lebih unggul. Akan tetapi, semua makanan yang Anda
hidangkan ini sangat tidak masuk akal.”
Hah? Kok makanan bisa nggak masuk akal?
Collin menggerakkan jari. Raut kejam yang
biasa terlihat di televisi itu kini ditujukan langsung kepada Yuda.
“Lihatlah! Sup rumput laut Korea, chicken marengo Prancis, panna cotta Italia, semua hidangan ini
tidak menyatu dan tidak memiliki karakter!”
Yuda merasa kepalanya berdenyut-denyut. Soal
karakter makanan sudah sering dibahas di banyak acara masak, akan tetapi … dia
tidak merasa perlu merisaukannya. Masakannya sudah enak, kok.
“Sebenarnya Anda ini berasal dari mana?”
tanya Collin.
“Saya berasal dari … dari ….” Yuda merasakan
sesuatu seolah tersangkut di tenggorokannya, “Saya dari Indonesia.”
Collin menggeleng keras lalu menarik napas,
“Itu! Itu!” dia meremas rambut keriting sebahunya. Dipandanginya Yuda dengan
tatapan kasihan sekaligus jengkel.
“Kenapa Anda tidak menghidangkan satu pun
masakan Indonesia? Seharusnya Anda menghidangkan masakan yang mampu
menceritakan jati diri Anda! Apalagi, masakan Indonesia itu ENAK SEKALI!”
Yuda langsung melongo. Apalagi, waktu Colllin
meremas bahunya, “Dengar, Anak Muda … Anda mungkin gagal audisi Master
Culinary, akan tetapi … saya bisa memberi Anda kesempatan lain. My Chef’s Rules
akan memulai musim baru. Saya harap, Anda bisa ikut sebagai salah satu peserta.
Hanya satu syaratnya, saat itu Anda harus mampu membuat makanan yang
berkarakter. Buat saya terpukau dengan makanan Indonesia. Ok?”
*
Yuda memikirkan usulan Collin berhari-hari. Wanda,
Josh, dan teman-teman akademi kulinernya tidak ada yang menunjukkan ketertarikan
mengikuti My Chef’s Rules. Semua keberatan dengan karantina. Jika mereka lolos
eliminasi, tentu mereka akan dikarantina sampai babak final, dan ini memakan
waktu hingga beberapa bulan. Ya, My Chef’s Rules memang memiliki jumlah episode
yang panjang, dengan penggarapan ala-ala sinetron stripping gitu.
“Berat! Lagipula, aku sama sekali tidak
menguasai masakan Indonesia,” kata Wanda, “Ngerilah kalau nanti malah
ditanya-tanya tentang makanan Indonesia. Bikin sambal saja masih sering tidak
enaknya.”
Teman-teman lain memiliki jawaban serupa. Dan
mereka semua tidak salah. Menyuruh orang Australia memasak makanan Indonesia
kan mirip sama ‘nyuruh orang Tegal bikin foie
au gras. Nggak ada nyambung-nyambungnya.
Huh! Pusing banget!
Malam itu, Yuda menenggak aspirin. Pikiran
Yuda akhirnya mengingat Indonesia dengan segala jenis kebudayaan yang harus dia
hafalkan dari SD. Suku Asmat dan Dani dari Papua. Rumah Joglo dari Jawa, Mandau
dari Kalimantan, dan lain-lain. Belum termasuk raos ngempelin, cecimpedan, aksara Bali yang harus dihafalkan
karena Yuda sekolah di Bali.
Konon, dengan menghafalkan semua ini, budaya
Indonesia akan lestari. Soal-soal ini pun kerap keluar saat ada ujian. Kalau
sedang apes, ya … lupa jawabannya apa. Makanya, Ibu kerap memukul Yuda dengan
sapu lidi saat tidak mampu menghafal.
“Salah! Baca lagi! Nanti nilaimu jelek, Le! Ulang lagi! Baca lagi sampai hafal!”
Sebuah perasaan menyesakkan akhirnya hadir
dalam hati Yuda. Indonesia sebatas hafalan. Tanah kelahiran yang seharusnya
menyimpan kenangan indah, malah menyisakan hal-hal menyakitkan. Kadang, Yuda
sempat mempertanyakan, mengapa dia harus lahir di negara dan keluarga yang
terbiasa memaksakan kehendak. Termasuk pada masa depan seseorang.
“Kamu itu laki-laki, lo … Le!” kata-kata
Bapak masih terngiang di telinga Yuda, “Laki-laki itu harusnya kerja kantoran. Jangan
jadi kayak Bapak! Udah tua gini masih aja dorong-dorong gerobak bakso!”
“Kamu itu harusnya fokus ngurusin nilai-nilai
kamu!” Ibu ikut-ikutan mengomel, “Semester ini sudah ada 2 nilai 90! Nilai kamu
nurun, Le! Gimana mau dapat beasiswa ke luar negeri, coba? Kerja di sini
bakalan susah maju, Le. Lihat sepupu kamu, tuh! Kerja di Jepang gaji udah 40
juta! Yang di Swiss malah udah 70 juta!”
Hiks.
Tapi, membuka restoran adalah cita-cita Yuda
sejak kecil. Dia suka main masak-masakan. Dia juga lebih suka belajar memotong
bawang daripada menghafalkan perkalian.
Sayang, baik orang tua, saudara-saudaranya,
maupun guru-gurunya di sekolah tidak pernah ada yang mendukung Yuda. Bahkan
teman-temannya sering meledek Yuda dengan sebutan setengah laki. Apalagi, waktu Yuda ketahuan main kafe-kafean di
ponselnya.
“Hahaha! Cowok tuh harusnya main GTA! Bukannya main
masak-masakan! Cih! Banci!” ledek
mereka, “Cowok kok cemen!”
Mungkin, hanya Komang Ariani yang serius
menanggapi cita-cita Yuda. Sebagai anak pedagang nasi campur, dia sudah melihat
usaha orang tuanya itu membuahkan hasil. Dari berjualan betutu di emperan toko, orang tua Ariani berhasil memiliki rumah
dan toko sendiri saat Ariani sudah menginjak SMA. Yuda dan keluarga pun
sebenarnya mengontrak di salah satu rumah Ariani.
“Jangan dengarin mereka. Memasak itu
pekerjaan halal. Lebih baik jadi koki daripada jadi maling, lo,” kata Ariani.
Yuda terenyak mendengar. Selama hidup, baru kali ini Yuda mendengar dukungan
seperti itu.
“Hwaiting!”
kata Ariani sambil menggerakkan tangan ala-ala artis Korea. Waktu itu, Ariani
sedang senang-senangnya dengan SNSD. Rambutnya direbonding, baju-bajunya pun dari butik yang konon mengimpor
langsung ke Korea. Ah, centil banget.
Lucu.
Penampilan Ariani itu anehnya menarik
perhatian Yuda. Suatu hari, Yuda mencuri ciuman dari gadis itu. Mereka pun
akhirnya pacaran di sekolah. Anak dagang bakso pacaran sama anak dagang nasi betutu. Kencannya kalau nggak makan
bakso, ya … makan betutu. Hahaha.
Sayangnya, masa itu hanyalah masa roman
picisan. Jelang UN, Yuda merasa impiannya jauh lebih penting dari dorongan
hormon cinta. Walau Ariani dan kedua orang tuanya menentang, Yuda tetap
memutuskan mengambil beasiswa di Melbourne Culinary School. Pokoknya, dia tidak
mau mengambil kuliah jurusan ekonomi. Titik!
Yuda menghela napas. Aroma bawang goreng
bercampur kaldu spesial mengembalikan pikiran Yuda ke masa sekarang. Ibu
tersenyum di depan Yuda. Semangkok bakso di tangan Ibu masih berasap, tanda
baru diangkat dari panci.
“Kamu kok ndak
bilang-bilang mau pulang, tho,” kata
Ibu, “Untung tadi sempat sisain bakso sedikit.”
“Makasih, Bu.”
“Makan dulu, Le,” suara Ibu sudah tidak selantang dulu. Yuda melihat sorot lelah
dalam mata Ibu. Ah, Bapak … Ibu … sampai kapan harus mempertahankan idealisme,
sih? Berjualan bakso secara jujur tidak memiliki banyak untung. Yuda sempat
mendengar beberapa teman Bapak menyuruh Bapak mencampurkan formalin dan boraks.
Tapi, Bapak bersikeras mau berjualan bakso yang aman bagi pelanggan. Karena
inilah, Bapak tidak terlalu disukai sesama pedagang bakso.
“Bapak ‘bentar lagi datang,” Ibu mengusap
peluh di keningnya, “Kamu makan aja dulu. Nanti kalau Bapak datang, jangan
bikin Bapak marah. Bapakmu itu sudah kena tekanan darah tinggi.”
Kening Yuda berkerut.
“Sejak kamu pergi, Bapak jadi lebih pendiam.
Jarang ngomel-ngomel. Ealah, Ibu ndak nyangka … satu hari Bapak pingsan.
Pas diukur, tekanan darahnya tinggi banget. Untung belum sampai stroke. Waktu itu, Ariani yang bantu Ibu
urusin Bapak di rumah sakit.”
“Ariani?”
“Iya, semenjak kamu pergi, Ariani sering
datang ke sini, bawain betutu,” Ibu
tertawa lepas, “Anak itu anak yang baik. Untung ada dia, Le. Ndak gitu, Ibu dan Bapak bakal ngerasa kesepian banget.
Yuda terdiam, tidak mampu menanggapi cerita
Ibu.
“Makan dulu, gih! Nanti baksonya dingin.”
Yuda akhirnya menyendok kuah bakso di depan.
Anehnya, kehangatan kuah bakso itu meresap dalam ke jiwa Yuda. Kerinduan akan
rumah kini beradu dengan kepahitan masa lalu yang sering menyiksa laki-laki
itu.
Suara motor kini terdengar mendekat. Yuda
baru memotong sebuah bakso ketika melihat sosok Bapak masuk ke ruang tamu. Di
belakang Bapak, Ariani masuk seraya memegang panci bakso. Oh, rupanya tadi itu
suara motor Ariani.
“Lo, kamu pulang tho, Le,” kata Bapak. Bibir di bawah kumis itu mengembangkan
senyuman tipis. Hati Yuda kembali tersentuh. Dia ingat, hanya pernah melihat
senyuman itu waktu dia berhasil menaiki sepeda, usia 5 tahun.
“Bapak ….” Yuda tidak tahu harus mengatakan
apa.
“Ealah, kok
kamu jadi kurus gitu? Makan yang banyak, tho
… Le,” komentar Bapak kikuk. Yuda jadi salah tingkah karena kata-kata Bapak
kontras sekali dengan keadaannya. Berat badan Yuda sudah naik beberapa kilo
semenjak mulai kuliah. Makanya, dia jadi rajin pergi ke gim.
“Eh, Bapak mau mandi dulu, deh. Ngobrol dulu
sama Ibu, ya,” merasa ucapannya aneh, Bapak langsung garuk-garuk kepala sambil
kabur ke kamar. Selanjutnya ,suasana canggung langsung terasa. Ibu dan Ariani
masih membereskan barang di gerobak. Terakhir, gadis itu menaruh kresek
beraroma rempah-rempah ke atas meja.
Tanpa bicara, Yuda menyendok baksonya. Sesuap
demi sesuap … semua rasa dalam bakso itu menyentuh hatinya tanpa bisa
dideskripsikan. Kata-kata Ariani tiba-tiba terngiang di telinga Yuda. Dia …
memang tidak pernah memikirkan apakah keluarganya memerlukannya atau tidak.
Yang dia tahu, semua akan baik-baik saja walaupun dia tidak ada.
“Makan, yuk … Bu,” Ariani cengengesan. Dia
bersikap seolah-olah di sana tidak ada Yuda. Dibukanya kertas nasi di depan,
menampilkan dua paha seksi ayam betutu.
Warna kuning mengilap itu langsung menggoda Yuda.
“Yuda, mau betutu juga?” tanya Ibu.
“Mauuu!”
Yuda mengulurkan tangan ke betutu, tapi
Ariani sengaja menepis tangan Yuda—menghalangi laki-laki itu.
“Orang kayak kamu harusnya sudah nggak level
makan bakso sama betutu, kan,” sindir
Ariani, “Order MCD atau KFC aja, gih!”
Yuda langsung mengerutkan alis, “Nggak level
gimana?”
Ariani menjawab dengan mengedikkan bahu.
“Bakso dan betutu ini termasuk bikin kangen, lo,” kali ini, Yuda tidak
berbohong, “Bumbu-bumbu dan sambal Indonesia susah banget didapatin di
Australia.”
“Emangnya, kamu masih cinta sama Indonesia?”
Kalimat ini membuat Yuda tercenung. Saat itu,
Bapak sudah selesai mandi. Ibu sudah siap dengan minyak GPU (Gosok Pijat Urut)
di atas tikar. Tak lama, Bapak datang dengan mengenakan kaos singlet dan
sarung. Bapak segera duduk di tikar, lalu menghidupkan televisi dengan remote.
“A~haa~
kena tipuuu … barang palsuuuu!” suara iklan itu segera
terdengar dalam ruangan. Yuda bengong seketika. Orang uring-uringan di iklan
itu benar-benar lucu. Apalagi kejadian pesan alat pijat tapi dapatnya alat
pijat mainan. Bahkan Bapak pun cekikikan melihatnya.
“Ariani, temani Yuda dulu, ya … kayaknya
encok Bapak kambuh, nih. Hehehe,” kata Ibu sambil memutar tutup botol GPU.
Melihat Ibu mengoleskan minyak lalu memijat
Bapak, Yuda merasa sesuatu menohok hatinya. Untuk pertama kalinya, Yuda merasa bersalah.
Bapak dan Ibu begitu bersusah-susah. Sementara Yuda … dia hanya mengikuti
renjananya. Dia menikmati kehidupan kuliah yang bebas. Dia menikmati kekaguman
gadis-gadis melihatnya beraksi sebagai barista. Baik di tempat kuliah maupun
tempat kerja, dia hanya diam jika ada yang menanyakan asalnya.
“Meski mungkin buat kamu, jadi orang
Indonesia itu keterpaksaan, buatku … Indonesia adalah Indonesia. Negeri ini
tempatku lahir dan besar. Meski orang-orangnya mungkin mengecewakan, aku tidak
ingin kehilangan pengharapan, Da. Pada akhirnya … kita ini tetaplah orang
Indonesia, kan?”
Yuda terdiam. Ariani akhirnya menyuwir sedikit
ayam lalu menyorongkannya ke mulut Yuda. Isyarat di matanya mempersilakan Yuda
untuk makan.
‘Aem!
Suwiran betutu langsung masuk ke mulut Yuda. Serbuan gurih, hangat, dengan
tendangan pedas di akhir membuat setetes air mata turun di sudut mata Yuda.
Mendengar kata pengharapan diucapkan, seketika Yuda merasa malu sekali. Ariani
benar sekali. Pada akhirnya, mereka tetaplah orang Indonesia.
“Kalau bukan kita yang berbuat sesuatu untuk
Indonesia, siapa lagi?” lanjut Ariani, “Kita
nggak mungkin ngarep Belanda dan
Jepang datang ngurusin kita lagi, kan? Amit-amit banget kena keharusan kerja
rodi! Aku sih, nggak mau!”
Yuda berkata sinis, “Dijajah bangsa lain dan
bangsa sendiri apa bedanya?”
“Nah! Itu! itu!” Ariani menunjuk Yuda dengan
antusias, “Kalau tahu sebagian orang masih bermental penjajah, kan lebih baik
berjuang membebaskan yang lain dari penjajahan. Itu lebih baik daripada lari ke
luar negeri, lalu malu mengaku jadi orang Indonesia!”
“Hahaha! Bicaramu udah kayak Guru PPKn aja,
Ri!” Yuda tertawa getir. Kata-kata Ariani seketika mendatangkan rasa penasaran
dalam hati Yuda, “Ngomong-ngomong, masih suka SNSD dan K-pop?”
“Ya, masihlah. Cuma nggak seheboh dulu,”
Ariani langsung cengengesan sambil membuat tanda V dengan tangan, “Sebenarnya,
kalau dengar musik K-pop, aku menghayalkan seandainya Indonesia punya semangat
dan passion sebesar itu. Menurutku,
musisi Korea itu tidak asal tampil. Mereka menyiapkan konsep sepenuh hati,
memilih lagu dengan hati-hati, dan mereka punya idealisme yang tinggi. Semua
lagu mereka punya misi, tidak hanya untuk menghibur orang.”
Ariani menarik napas. Baru kali ini, Yuda
sekilas kekecewaan dalam senyuman Ariani, “Seandainya, ada banyak orang kreatif
yang punya hati sama Indonesia. Musisi-musisi yang tampil bukan sekadar
menghibur. Mereka yang nggak plagiat dan menghargai karya orang lain. Mereka
yang nggak cuma goyang seksi dan bikin sensasi gosip. Aku pengin musik Indonesia
bisa semaju K-pop. Eh … maaf, aku malah jadi ‘ngeluh.”
“Nggak apa-apa. Aku senang kok dengarnya. Aku
baru tahu kenapa kamu suka dengan K-pop,” kata Yuda seraya tersenyum tulus.
“Hahaha! Semoga masih ada harapan, ya. Aku
bersyukur … sekarang, sudah ada Mas Addie MS. Aku sering nonton video Mas Addie
dan orkestranya mainin lagu daerah di Youtube.
Keren banget! Sumpah! Semoga makin banyak seniman yang mencintai Indonesia!
Jadi, mereka bisa menggunakan bakat mereka untuk memajukan Indonesia!”
Sikap ceria Ariani menyadarkan Yuda kalau
gadis ini sudah tidak marah lagi. Ah, Ariani memang begini. Cepat marah, cepat
pula hilang marahnya.
“Hebat, kamu, Ri! Nggak nyangka, kamu bisa
nasionalis gini!”
Ariani menggosok hidung, tanda sedang malu,
“Aku … aku cuma merasa mengeluh dan lari bukan jalan keluar … emangnya apa yang
udah kita lakuin buat bangsa ini? Ngomel terus? Nyinyir terus? Nggak guna, Da! Selama kita semua jadi orang pemalas
yang ogah mikir dan maunya jalan pintas aja, negara ini nggak akan pernah berubah.”
Mata Ariani menyipit, menyidik Yuda, “Kamu
udah mikir, kan … apa yang kuomongin tadi siang? Kamu masih bakalan diam aja
sekarang?” kerling Ariani kini menunjuk Bapak dan Ibu. Bapak masih merem melek
dipijat, sementara Ibu mengerahkan segenap tenaga untuk memijat. Suara iklan kena tipu barang palsu itu kembali
terdengar. Iklan ini akhirnya mendatangkan sebersit ide dalam kepala Yuda.
“Lihat, ya! Jangan pikir aku nggak bisa ngelakuin sesuatu!” Yuda kini meraih
ponsel. Dengan cepat, tangannya membuka situs belanja tadi.
“Ngapain, sih?” Ariani langsung memelotot
penasaran.
“Lagi daftar, nih,” Yuda tersenyum penuh
arti. Tangannya kini bergerak menelusuri alat-alat kesehatan di situs itu.
Dengan cepat, Yuda menambahkan sebuah alat pijat ke keranjang belanja lalu
mengonfirmasi pembayaran.
“Tuh, aku udah buat sesuatu, tuh. Nanti kalau
alatnya datang, tugas ‘mijat bisa jadi lebih ringan,” kata Yuda semringah.
Ariani langsung mencibir jengkel, “Cuma gitu
aja?”
“Satu langkah kecil masih lebih bagus
daripada nggak melangkah sama sekali,” kali ini Yuda yang mulai berfilsafat,
“Kalau ada rezeki, aku bakal cariin kios buat Bapak, Ri. Dengan begitu, Bapak
nggak perlu dorong-dorong gerobak bakso lagi. Sebenarnya, ini yang
kucita-citakan waktu dulu berangkat dulu.”
“Nah, gitu, dong!”
“Hahaha! Kalau gitu, kamu bantuin aku, dong!”
“Bantuin apa lagi?”
“Bantuin aku memenangkan My Chef’s Rules,
dong. Kalau kita menang, cita-citaku itu bisa lebih cepat terwujud. Lagian, kamu
masih mau melakukan sesuatu buat Indonesia, kan?”
“Melakukan sesuatu buat Indonesia? Maksudmu?”
“Ya, Collin—juri My Chef’s Rules udah bilang
pengin makan masakan Indonesia yang enak. Jadi … siap gunakan bakatmu buat
Indonesia?”
Senyuman Ariani terkembang cerah sekali, “Tapi,
aku nggak bisa bikin bakso Solo!”
“Kamu bikin sambalnya aja!”
“Bakso Solo Sambal Matah?”
“Bukan! Bakso Cinta Sambal Sayang!”
“Deal! Mari
kita guncang dunia! Hahaha!”
Catatan:
Cerita ini terinspirasi dari ajang Master
Chef dan My Kitchen Rules. Master Chef adalah reality show yang menghadapkan para koki rumahan hebat. Sedang
peserta My Kitchen Rules adalah pasangan koki rumahan yang memiliki hubungan
khusus, seperti pacar, teman, atau saudara. Baik Master Chef maupun My Kitchen
Rules sering menantang peserta untuk membuat masakan yang menunjukkan daerah
dan budaya tempat asal mereka.
Toxic masculinity menjadi tema utama cerita saya kali ini. Di lingkungan saya, memang masih banyak yang berpedoman kalau lelaki pantang ke dapur. Dulu, teman saya malah dimarahi kalau pergi ke dapur. Katanya, cowok nggak pantas pergi ke dapur.
Semoga saja cerita ini bisa menghibur ^^v
Putu Felisia
Masakan Indonesia memang bikin kangen. Masakan luar negeri mungkin memang menarik. Tapi selalunya nggak lebih nikmat dari masakan Indonesia. Koki kebanyakan cowok kok ya. Semangat Yuda...
BalasHapusUnik juga karena lagi seru juga sih bahasan soal lomba ini. Lanjutkan kak kisah si sambal sayang...😁
BalasHapusJadi pengen makan ayam betutu hihihihi. Jurinya bener tuh, kudunya masak masakan Indonesia yang enak dan banyak macamnya.
BalasHapusKeren banget ih cerpennya. Langsung dibuat berdasarkan Master Chef yang viral gara2 Grand Final. Settingannya keren dan alurnya jelas. Roman2 asmaranya juga ada. Bagus kak.
BalasHapusSatu pesan kuat yang saya tangkap dari cerita ini, kalau sudah ada sesuatu yang istimewa, buat apa mencari lagi sesuatu yang baru.
BalasHapusSeperti masakan Indonesia yang sudah terkenal beragam, enak, dan lezat.
Sama seperti Yuda yang sudah mempunyai kekuatan di dunia kuliner. Maka itu saja yang dia kembangkan dan kejar.
Ini ceritanya aku banget kak. Berhubung tmn sebaya tuh rata2 cewek, ya aku selalu diajak main masak2an, boneka2an, rumah2an, ya pokoknya yg serba cewek deh. Sampe prnh dulu dibully dibilang bencong krn selalu berteman dgn cwek.
BalasHapusTp dari situ pertemananky mkn luas dan selalu dicari cwrk2 krn aku selalu enak buat diajak curhat. Sampe selalu jd mak comblang bahkan sejak SD ampe skrg ufh mau kepala 4. Haha.
Sampe aku kuliah di Bali ambil parieisata. Bljr masak, kerja di kafe dan restoran tp passionku jd wartawan. Smua temenku yg ngeledek dulu sampe malu ketemu aku krn udh sukses krj di Jakarta. Bahkan udh biasa ktmu artis.
Kalau orang Jawa beda lagi. Cowok harus bisa memasak dan nggak canggung membantu pekerjaan istri di rumah (di dapur). Alhamdulillah dapat suami Yogja, jadi suka membantu...
BalasHapusSetuju nih kata Ariani, mending 'selamatkan' negeri sendiri daripada harus susah payah beradaptasi lagi di negeri orang. Cerpennya asli keren, kak Putu! Jadi ngingetin aku kapan terakhir bikin cerpen nih, wkwk..
BalasHapusmenarik baca ceritanya langsung bayangin acara chef-chef itu, btw beberapa teman saya juga bercerita di tempat mereka masih menganggap kalau laki-laki itu masih tabu pergi ke dapur, patriarkinya masih sangat kuat
BalasHapusGak usah jauh-jauh
BalasHapusDulu suami saya begitu
Soalnya didikannya demikian
Setelah menikah baru deh saya yang ajak ke dapur
Yaa mana bisa aku kerjain sendiri sementara anaknya tiga hahaha
Hmmm ini ceritanya udah kaya FTV yang ada di Indo. Hhe.
BalasHapusBiasanya yang nonton anak-anak remaja semasanya.
Eh btw, cerita begini bisa jadi ada di dunia nyata ga sih, hhe.
tetiba jadi pengen bakso, makanan favorit sih dan harus bakso yang "berkarakter" gak hanya asal ada bakso, tapi kuahnya kental dan legit dengan saripati tulang sumsum, daging bakso yang tidak terlalu tebal, kulitnya tipis tapi isiannya tetelan. Jangan lupa mienya harus mie terigu bukan mie glosor apalagi mie keriting. Minyak bakso juga sama pentingnya, ini nih yang jadi penentu nikmat enggaknya kuah bakso. Kecap juga, its must merk anggur! hihihihi. terusin dong ceritanya, beneran bisa jadi winner gak dengan bakso nya di My Chef’s Rules.
BalasHapustetiba jadi pengen bakso, makanan favorit sih dan harus bakso yang "berkarakter" gak hanya asal ada bakso, tapi kuahnya kental dan legit dengan saripati tulang sumsum, daging bakso yang tidak terlalu tebal, kulitnya tipis tapi isiannya tetelan. Jangan lupa mienya harus mie terigu bukan mie glosor apalagi mie keriting. Minyak bakso juga sama pentingnya, ini nih yang jadi penentu nikmat enggaknya kuah bakso. Kecap juga, its must merk anggur! hihihihi. terusin dong ceritanya, beneran bisa jadi winner gak dengan bakso nya di My Chef’s Rules.
BalasHapusAduh si Yuda mirip anakku yang kapan lalu tertarik main masak-masakan padahal ia cowok. Kalau aku sih masih oke cowok suka masak selama dia masih sesuai dengan kodratnya hihi. Cerpennya menarik nih kak
BalasHapusMbak, ceritanya bagus bangettt. gemes deh sama Yuda. Padahal Indonesia ini emang lezat masakannyaaa, hiiiih. Bangga jadi Indonesia dong, Yudaa!
BalasHapusah abis baca ini jadi pengen bikin cerita fiksi jugaaaaa, seru mba cerpennya <3
BalasHapusNuhun ka Putu, aku menikmati sekali gejolak batin yang dirasakan masing-masing karakter terutama Yuda sebagai tokoh utama di kisah ini.
BalasHapusDan keresahan yang luar biasa dirasakan ketika "Ia berbeda" dengan caranya.
Aku juga bisa memahami bahwa hidup masih memilah seseorang berdasarkan gender.
Sedih yaa.. Semoga Yuda bisa sukses dan membuktikan jalan yang dipilihnya tidak keliru. Menjadi berbeda, itu gak dosa selama membawanya dalam kebaikan.
Justru kayaknya sekarang cheff tuh kebanyakan cowo yaa, bukan cewe. jadi passion masak memang ga memandang gender sih harusnya.. hihi.. keren mba ceritanya
BalasHapusCeritanya seru. Gaya berceritanya bagus sekali kak. Gak sadar aku baca sampai akhir. Keren.
BalasHapus