Ketika berita tentang bocah
tewas digelonggong ibunya beredar, banyak sekali terdengar kecaman kepada sang
ibu. Bahkan, mama saya sendiri mengatai ibu itu sakit jiwa. Mengapa seorang ibu
bisa berbuat sejauh itu, banyak orang yang mungkin tidak tahu.
Namun, sebagai salah satu dari
ibu yang dianggap ‘tidak becus’ itu, saya mau mengakui sesuatu: kalau ada ibu
yang kelihatan membenci anaknya sendiri, bisa jadi karena ibu itu sudah terlalu
hancur dihakimi.
Saya bukan ibu yang sempurna.
Saya mengakui ini. From the
beginning, I was clueless about having a child. Saya sangat bersyukur,
waktu itu mertua saya bersedia membantu merawat si sulung. Orang-orang
menganggap saya sangat beruntung. Bagaimana tidak, ketika ibu-ibu lain
kerepotan merawat bayi, saya tinggal leha-leha sementara mertua saya
yang sibuk mengurus. Sayangnya, tidak ada yang tahu, di balik leha-leha
itu, saya sendiri memendam rasa frustasi yang dalam. Saya sakit hati ketika ditegur
saat menyentuh kelambu. Kenapa baru menyentuh kelambu saja saya ditegur? Apakah
karena saya tidak becus menggendong bayi? Apakah saya memang seburuk itu?
Lalu, ketika saya memaksakan
diri menggendong bayi, si sulung pingsan sampai harus dibawa ke rumah sakit. Fixed,
waktu itu semua kepercayaan diri saya runtuh. Apalagi, ketika kumpul-kumpul
keluarga, semua sepakat kalau anak saya itu hanya ‘numpang lewat’ di ibunya. Saya
menyesali diri, saya kecewa pada Tuhan. Kenapa Tuhan mempercayakan anak ini
kepada ibu tidak becus seperti saya?
Saya merasa, merawat anak saya
tak ubahnya seperti sedang menyungsung dewa (merawat tempat penyembahan
dan menyembah seorang dewa). Membiarkan anak menangis adalah dosa. Marah pada
anak adalah dosa. Membiarkan anak digigit nyamuk adalah dosa. Di sisi lain,
anak saya tumbuh menjadi pemberontak. Dia sama sekali tidak mau mendengarkan
saya. Ketika kakek neneknya mati-matian menyediakan lingkungan steril dan tidak
mengizinkannya berkeringat sedikit pun, anak saya malah mengorek-ngorek tahinya
dengan gembira. Beberapa kali, dia tertawa dengan belepotan kotorannya sendiri.
Siapa yang salah? Tentu mamanya yang tidak becus ini. Bagaimana bisa si mama
goblok ini lengah dan membiarkan anaknya bermain dengan tahinya? Bangsat sekali,
bukan?
Mengingat masalah gemuk-tidak
gemuk, saya juga sering dikomentari. Setiap kumpul keluarga, pasti ada saja
komentar, “Aduh, kurus banget anaknya!” tak jarang diawali dengan kalimat, “Kamu
makin gemuk aja!” Dalam pikiran saya, saya seakan sedang menerima pernyataan, “Kamu
terlalu egois! Masa kamu bisa menggemuk padahal anakmu makin kurus?”
Komentar-komentar ini sering kali membuat sakit hati. Lagi-lagi, saya membenci
diri sendiri. Apa saya seegois itu? Kenapa orang selalu bilang saya gemukan? Kenapa
saya nggak becus ngasih makan yang bisa bikin anak gemuk?
Masalah lain yang sering
dibicarakan adalah prestasi anak. Saya pernah mengajak anak ke ahli tumbuh
kembang. Si ahli mengatakan anak saya satu hiperaktif, satu telat bicara. Ketika
orang tua lain memamerkan anaknya yang sudah bisa baca running text di
TV saat TK B, saya masih kewalahan mengasuh dan mengajar dua anak ini sendiri. Saya
sering dipanggil ke kantor, beberapa kali dikatakan bahwa anak saya kemungkinan
tinggal kelas. Siapa yang salah? Siapa lagi kalau bukan ibu tidak becus ini. Kalau
saja bisa mengajar, tentu anak tidak akan bermasalah dan dibully di
sekolah, dikatain bodoh.
|
Foto: pixabay.com |
Kemarahan yang dipendam
bertahun-tahun bisa meledak.
Jika diingat-ingat, posisi
saya waktu itu benar-benar terjepit. Di antara ancaman tidak naik kelas,
telepon mertua untuk mengecek nilai ulangan anak, ajang pamer prestasi di acara
keluarga, hingga prestasi papa dan pamannya, semua menekan saya. Alih-alih bisa
jadi juara dan dipeluk menteri seperti pamannya, anak-anak malah bermasalah
melulu.
Saya stress. Saya marah. Namun,
lagi-lagi, saya tidak berdaya. Saya tidak mungkin melampiaskan kemarahan ini
kepada suami, mertua, atau keluarga besar. Kalau saya nekat bertengkar, pastinya
akan dikeroyok habis. Yang bisa jadi sasaran hanyalah anak-anak.
Dan saat itulah, saya berubah
menjadi monster pemarah yang ringan tangan dan terus menuntut anak saya memberi
nilai bagus. Saya merasa, hidup saya semakin kacau. Yang bisa saya lakukan hanya
marah dan membenci semua hal dalam hidup saya, termasuk diri saya dan anak-anak
saya.
Ketika sampai di titik akhir
itu, saya merenung. Apakah sebenarnya yang sedang saya lakukan ini? Apakah yang
saya lakukan memang untuk kebaikan anak-anak, karena saya mengasihi mereka,
ataukah karena ketakutan saya tidak bisa memberi anak/cucu yang bisa dibanggakan?
Seorang ibu, sebenarnya hidup
untuk apa?
Seorang ayah, sebenarnya hidup
untuk apa?
Apakah ada yang memikirkan
ini?
|
Foto: pixabay.com |
Artikel berita tentang bocah yang tewas digelonggong bisa dibaca di sini.
Saya sungguh bersimpati dengan
bocah yang tewas digelonggong itu. Memang, tindakan itu kejam dan melanggar
hukum. Namun, di satu sisi, saya ingin mengajak kita kembali merenung. Apakah sebenarnya
yang sedang kita lakukan pada keluarga kita? Apakah yang sedang kita lakukan
pada anak-anak? Apakah yang sedang kita lakukan pada ibu-ibu yang ada dalam
lingkup pergaulan kita?
Karena bisa jadi, yang
membentuk ibu monster itu adalah saya atau Anda yang membaca artikel ini.
Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger
Iya juga ya, tekanan dari lingkungan sekitar dan keluarga besar memang terkadang bikin ibu baru kelelahan lahir batin, sedih rasanya kalau kita sedang down tapi tidak dapat dukungan dari orang tersayang, malah dianggap sepele masalahnya :(
BalasHapusIya, Mbak :(
HapusWah kok sama mbak, aku juga lagi curcol di blog.
BalasHapusMakasih udah mau cerita mbak, aku tau beratnya berada dalam tekanan. Kadang, nulis adalah pelarian demi kewarasan.
Masya Allah.
BalasHapusI feel you, mba.
Terutama bagian ini:
"... karena bisa jadi, yang membentuk ibu monster itu adalah saya atau Anda yang membaca artikel ini
aduh ya sedih, kenapa jaman iki kok ya orang selalu menjudge serasa paling benar
BalasHapusKaaaa, aku nangis bacanya.
BalasHapusPaham banget rasanya. Perih.
Gak jauh beda...
BalasHapusRasanya pengen nabokin org2 yg komen sembarangan menilai kita, ya?
BalasHapusKl aq cuwekin saja org2 itu. Rugi banged dgrin mereka, apalagi jika melampiaskan ke anak2. Yg penting tetap jaga dan perhatiin anak baik2. Bangun mental baja demi keutuhan keluarga kecil kita.