Saya memang bukan psikolog atau psikiater. Saya
juga bukan tokoh agama. Meski demikian, saya pernah menjalani konseling pada
ketiganya. Saya sembuh dengan kombinasi terapi medis dan spiritual. Jadi saya
percaya, dua-duanya sangat membantu saya. Namun, meski saya amat percaya, Tuhan
adalah dokter dari segala dokter, saya tidak pernah berani menyarankan orang
untuk mengabaikan konsultasi medis dan langsung berkonsultasi kepada tokoh
agama.
Mengapa?
Gini, lho ... teman-teman. Penyakit kejiwaan
itu eksis. Sama eksisnya dengan penyakit jantung, diabetes, atau flu, batuk,
dan penyakit lain. Kalau memang kalian sedang mengalami gejala-gejala gangguan
emosi atau kejiwaan, ada baiknya kalian mencari pertolongan kepada orang yang
tepat.
Pada dasarnya, baik itu psikolog, psikiater, pendeta,
gembala, ulama, bhiksu, rahib, pedanda, bahkan saya sendiri adalah manusia
biasa. Kami-kami ini hanya berusaha, tapi tetap ada keterbatasan yang tidak bisa dijangkau manusia. Yang namanya manusia, selama masih hidup di dunia tentu masih bergumul
dengan berbagai masalah. Kita tidak tahu tentang masalah orang lain, demikian
juga orang lain belum tentu paham dengan masalah kita, kan?
Meski demikian, saya percaya, psikiater dan
psikolog sudah memiliki ilmu dan pengalaman yang mencukupi untuk menangani
masalah kejiwaan seseorang. Mereka tentunya juga memiliki kode etik yang memang
mereka patuhi secara profesional. Ketika kita datang kepada mereka untuk meminta
masukan, mereka akan hadir sebagai seorang profesional. Sebagai seorang
profesional, mereka wajib memberikan penanganan yang tepat: obat, terapi,
saran, dan lain-lainnya.
Di sisi lain, ulama, pendeta, bhiksu, dan para
agamawan memang (seharusnya) memiliki ilmu spiritual, kadar rohani, bahkan kadar
keimanan yang tinggi. Mereka hebat dalam melakukan hal-hal yang sifatnya
spiritual: mendatangkan mujizat, menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan
lain-lain. Akan tetapi, spiritual dan kesehatan jiwa adalah hal berbeda. Meski mungkin,
ada tokoh agama yang dibekali kemampuan dalam hal psikologi, pengetahuan
seorang agamawan adalah sebatas pengetahuan ritual dan teori agamawi. Jika kebetulan
apes mendapat konselor tokoh agama yang tidak memiliki pengetahuan dalam hal
psikologi, paling-paling kita akan disarankan “banyak-banyak bersyukur” atau “kurang
berdana, mungkin”, “ada bikin dosa, kali,” “perlu nambah ritual A kayaknya,” dan
lain-lain.
Yang lebih parah, kalau kita datang waktu mood
sang tokoh agama sedang jelek. Alih-alih mendapat solusi, yang ada malah makin
berabe. Contohnya saja, ketika dulu saya bertanya tentang doa meminta
pertolongan, saya malah dijawab, “MINTA TOLONG PADA SIAPA? TUHAN?” (ini tulisannya
asli gini, caps lock jebol, hahaha #ngamok).
Kebanyakan tokoh agama itu memang tidak bisa diajak berdiskusi, tidak boleh disanggah, dan kita harus menundukkan diri sebab mereka memiliki otoritas langsung dari Yang Mahakuasa. Mereka memegang sesuatu yang jelas: ayat-ayat agama dan
iman mereka masing-masing. Kalau masalahmu bertentangan dengan apa yang mereka
yakini, ya, siap-siap aja tidak menerima solusi memuaskan/berhasil menyelesaikan
masalah.
Contohnya, nih ... dalam beberapa keyakinan,
para tokoh agama bahkan tidak menikah. Mereka mengimani, hidup selibat adalah jalan yang benar dalam mencapai kebahagiaan hidup. Lalu, kita datang dalam keadaan memiliki masalah rumah tangga. Kita curhat betapa menyesakkannya hidup menikah kepada orang yang tidak punya pengalaman menikah.
Saking absurdnya saya sampai nggak tahu harus
menuliskan apa sebagai lanjutannya, hahaha.
Jadi, kalau kebetulan kalian memang mengalami gangguan
emosi dan masalah-masalah emosi yang sulit diuraikan, saran saya, segeralah
mencari pertolongan ke terapis profesional. Jangan mengabaikan kesehatan jiwa,
karena akibatnya bisa fatal. Jangan sampai kayak saya, bikin heboh satu rumah,
hampir masuk RSJ, ah, sudahlah xD
Untuk yang masih bingung, malu, dan takut kena
stigma negatif, saya doakan segera menemukan jalan keluar. Semoga Tuhan lawat
dan tolong. Semoga Tuhan mengirim orang-orang untuk menolong. Semoga Tuhan memberikan biaya, kalau memang tidak ada biayanya.
Percayalah, dirimu itu berharga :)
Penulis:
Putu Felisia
Novelis dan Blogger.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)