Putu Felisia : Blog Inspiratif untuk Kehidupan Sehari-hari

Kamis, 24 November 2022

Kekerasan Ekonomi: Melanggar Hukum tapi Tidak Ada Sanksi Berarti

Kekerasan ekonomi atau financial abuse adalah kondisi di mana seseorang dibatasi kebebasannya, diintimidasi, dan dikendalikan lewat hal-hal yang berhubungan dengan finansial. Misalnya istri yang tidak dinafkahi sebagai bentuk hukuman, tidak diberi akses terhadap rekening pribadinya dengan menahan kartu ATM atau menyita kartu kredit, atau dilarang untuk mencari nafkah untuk membatasi ruang gerak.


kekerasan ekonomi


Pengertian kekerasan ekonomi di atas sebenarnya cukup jelas, ya. Namun, untuk menjawab beberapa pertanyaan di blog ini, maka kali ini saya akan mencoba menjelaskan kekerasan ekonomi secara lebih rinci lagi.

 

Kekerasan ekonomi ini, meski termasuk dalam KDRT, bisa dibilang antara ada dan tiada. Maklum, sama seperti kekerasan psikis, kekerasan ekonomi ini termasuk KDRT yang sulit dicari buktinya.

 

KDRT
Foto: Canva

 


Dari Survei Pengalaman Hidup Nasional (SPHN) ada 3 jenis kekerasan ekonomi terhadap perempuan:

 

kdrt
Foto: Canva

 

 
Larangan bekerja.
Sama seperti lelaki, perempuan berhak untuk mengembangkan diri. Sayangnya, ada saja suami yang melarang istri bekerja dengan berbagai alasan, walau sang istri ingin sekali bekerja.

 
Tidak menafkahi

Sebagai kepala rumah tangga, suami yang dalam keadaan sehat walafiat tentunya wajib bekerja dan memberi nafkah. Sayangnya, ada juga suami yang enggan menghidupi istri dan anak-anaknya.

 

Mencuri dari Istri
Nah, yang ini tentu perbuatan yang jahat, ya. Saya jadi ingat kasus seorang Tiktokers yang mengeluh kalau suaminya minta harta gono-gini padahal yang bekerja adalah istrinya dan dia tidak ikut andil bekerja.

Kisah-kisah Perempuan:

Komik Perempuanmu: Dari Perempuan untuk Perempuan


Kekerasan Ekonomi pada Perempuan Bali

Ngomongin kekerasan ekonomi, jenis KDRT seperti ini sudah jadi pemandangan umum di Bali. Maklumlah, di Bali, paham patriarkinya begitu kuat. Saking kuatnya, laki-laki sudah dianggap sebagai ‘raja’ dalam keluarga. Bahkan ada juga keluarga yang betul-betul menajiskan lelaki menyentuh pakaian dalam wanita karena dianggap leteh (najis tadi).

 
Balebengong Bali menuliskan: diapakan anak perempuan yang lahir dalam keluarga mereka? Paling banter jawaban yang memuaskan: anak perempuan itu akan dijadikan ‘bungan natah’ alias ‘kembang di halaman rumah’. Konotasi ini bisa bermakna ganda, anak perempuan semata-mata sebagai aksesoris atau pelengkap, jenis makhluk berkelamin perempuan yang terberi dalam keluarga. Atau perempuan itu dipersiapkan sebagai sang penjaga tradisi dan ritual adat istiadat dengan segala konsekuensinya.

 

kdrt bali
Foto: Canva

 

Sang Bungan Natah inilah yang diharapkan melayani kepentingan keluarga dan kaum purusa (lelaki) di rumah-rumah mereka. Perempuan Bali diberikan kesempatan dan belajar dan bekerja  semata-mata ditujukan untuk melayani kepentingan para purusa. Hasil kerja mereka pun giring untuk untuk memenuhi kepentingan keluarga. Sehingga meskipun perempuan Bali muncul sebagai pekerja keras, sebagian besar dari mereka tetaplah kelompok yang tak berdaya dan dimiskinkan secara politis. “Sayang-sayang kendang” merupakan ekspresi untuk menyatakan keberadaan perempuan Bali dipuji karena kemampuan kerjanya yang luar biasa namun miskin penghargaan karena kurang dihargai hasil kerjanya. Inilah ironi yang dialami sebagian besar perempuan Bali.

 

tradisi bali
Foto: Canva


Karena itu, jangan heran kalau di Bali itu lelaki berlaku kepada istri bak raja memerintah budak. Tak jarang, status istri dianggap lebih rendah dari asisten rumah tangga karena asisten rumah tangga dianggap memberi kontribusi bekerja secara profesional dan harus dihargai. Istri yang tak mampu membiayai rumah tangga pun sering dianggap pemalas yang kerjaannya hanya tidur di rumah. Mereka harus mau bekerja agar tidak menjadi beban hidup suaminya.

Baca juga:

Perempuan yang Terabaikan dalam Kampanye


Hal ini masih berlangsung di generasi saya. Entah di generasi selanjutnya.

 

Kekerasan Ekonomi Melanggar Hukum?

Pertanyaan paling krusial tentang kekerasan ekonomi ini adalah: apakah kekerasan ekonomi ini melanggar hukum?

 

KDRT
Foto: Canva

 

 
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menghubungi Yakobus M. Hosea yang saat ini menjadi Chief Justice di Pengadilan Negeri Parigi. Menurut beliau, sayangnya di Indonesia tidak memiliki ketentuan pemaksa (pidana) yg mewajibkan pasangan untuk memenuhi tunjangan untuk istri dan anak. Jadi sekalipun diputuskan bersalah melakukan penelantaran secara ekonomi, bahkan dalam putusan perceraiannya dikenakan kewajiban pemenuhan nafkah, tapi tidak ada aturan yang dapat memaksa si pelaku/suami untuk menepati kewajiban pemenuhan nafkah tersebut, sehingga bila ia ingkar perlindungan hukumnya hanya dalam bentuk gugatan wanprestasi saja. Singkatnya hanya bisa menggugat ganti rugi.

 

KDRT
Foto: Canva

 


Narasumber kedua yang saya hubungi adalah Uni Dian Onasis, seorang penulis yang juga pemerhati hukum. Beliau memberikan informasi tentang pengaturan nafkah dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) kita dapat melihatnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Dalam pengaturan UU Perkawinan, tidak ditetapkan besarnya nafkah yang harus diberikan, hanya dikatakan sesuai dengan kemampuan si suami.

Jadi, kesimpulannya: kekerasan ekonomi ini adalah perbuatan melanggar hukum. Namun, sayangnya, hingga kini belum ada peraturan khusus yang bisa melindungi korban ataupun membela hak korban secara signifikan.

 
Lalu harus bagaimana dong teman-teman? Ada yang mau berbagi solusinya?

Referensi:

https://www.hukumonline.com/klinik/a/dasar-hukum-kewajiban-suami-memberi-nafkah-lt5162ed19cbc6e
https://balebengong.id/kekerasan-patriarki-pada-perempuan-bali/
https://nova.grid.id/read/051820096/wajib-tahu-ini-3-jenis-kekerasan-ekonomi-pada-perempuan-dari-sphn?page=all
https://m.merdeka.com/gaya/mengidentifikasi-kekerasan-ekonomi-atau-financial-abuse-dalam-hubungan.html?page=2

 




Sang Penulis

Baca Juga

Komentar

24 komentar:

  1. Aku baru tahu kalau kasus kayak gini namanya kekerasan finansial Mbak. Realitanya mengenai kasus ini tuh sering aku temui curhatannya selain dari Mba Putu. Kasihan juga ya kalau perempuan mendapatkan perilaku tersebut. Ikutan sedih sih

    BalasHapus
  2. KDRT menjadi masalah yang sering terdengar akhir akhir ini, isu yang sering menimpa keluarga yang mengalami masalah ekonomi. Terkadang takut untuk dilaporkan padahal jadi masalah hukum yang harus diselesaikan. kudu ada tindakan tegas

    BalasHapus
  3. Kalau sudah terbentur dengan tradisi dan adat istiadat, memang susah ya. Seperti di Bali itu. Tapi di Bali ada istilah suami beristri lebih dari satu gak tuh?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saudara saya sih dulu pernah kerja keras menghidupi suami+madunya

      Hapus
  4. Aku jadi teringat akan potongan kisah dalam novel berjudul Tempurung karya Oka Rusmini deh, Kak. Berasa banget betapa perempuan Bali yang tadinya ayu di masa mudanya, berubah sebegitunya setelah menikah dan diposisikan sebagai tulang punggung keluarga namun sang suami tetap harus dipuja. Berat memang kalau sudah jadi tradisi gini ya, Kak.

    BalasHapus
  5. Kekerasan ekonomi memang salah satu bentuk kdrt
    Solusinya perempuan harus berdaya
    Sebelum menikah harus benar-benar mengetahui bagaimana bibit bebet bobot calon suami
    Kewajiban suami adalah menafkahi istri
    Kalau calon suami berpotensi melakukan kdrt apapun itu, baiknya ya tidak usah menikah, cari calon yang bertanggungjawab
    Kalau sudah terlanjur? Lawan lah. Ajak bicara baik-baik
    Kalau tak bisa saling kerjasama dan berbuat baik sebagai sesama suami istri, ya buat apalagi sebuah pernikahan dipertahankan
    Perempuan harus berdaya dan bisa melindungi dirinya sendiri

    BalasHapus
  6. Zaman sekarang, perempuan kerap menjadi kajian utama.
    Kalau perempuan ingin diakui dibilang feminisme.. Tapi kalau sudah kejadian KDRT begini, banyak sekali yang menyayangkan karena tidak berani speak up.
    Beratnya hidup di negara hukum yang timpang. Semoga ada hukum yang disahkan untuk melindungi hak-hak perempuan dari sejak kecil hingga dewasa.

    BalasHapus
  7. Aku baru tau juga mengenai Kekerasan ekonomi. Jadi sama saja termasuk KDRT yah. Tapi memang ini sangat perlu perhatian khusus karena perempuan itu sudah seharusnya mendapatkan perlindungan mengenai hak-haknya

    BalasHapus
  8. tak dimungkiri masalah kekerasan ekonomi ini banyak terjadi di masyarakat kita. Dan saya setuju sekali dengan pendapat yang disampaikan mba Dian (Dee-arif), bahwa solusi terbaik setiap perempuan harus berdaya. Dan sejatinya setiap suami yg benar2 bertanggung jawab harus sadar kalo memberi nafkah adalah kewajibannya.

    BalasHapus
  9. Kekerasan ekonomi pun masuk dalam KDRT ya? Hal seperti ini memang perlu disosialisasikan sih biar banyak yang tahu sehingga ada solusinya

    BalasHapus
  10. Pembatasan ruang gerak perempuan ternyata masuk dalam kekerasan ekonomi ya, Mba. Kalau suami tidak menafkahi memang sering dengar. Tetapi, baru tahu tentang perempuan bali ini. Karena, banyaknya juga kan perempuan Bali yang bisa berkarya. Semoga ada payung hukum khusus mengenai Kekerasan Ekonomi biar perempuan gak dipandang sebelah mata lagi.

    BalasHapus
  11. Jadi inget kebanyakan anak keluarga broken home g dinafkahi lagi sama ayahnya, padahal menurut aku itu termasuk bentuk kekerasan ekonomi cuma ya belum tau ada alat hukum yang bisa mengatur kewajiban ini engganya, sayang banget sebenernya

    BalasHapus
  12. Selama ini KDRT identik dgn kekerasan fisik ya Mbak, pdhal ada kekerasan psikis & kekerasan ekonomi juga. dan kekerasan psikis & ekonomi ini banyak terjadi di masyarakat, loh.
    Oh ya, aku baru tahu kalau perempuan Bali dinilai seperti itu. Apakah di era modern seperti sekarang juga masih tetap seperti itu, Mbak?

    BalasHapus
  13. Isu KDRT saat ini kebanyakan memang karena faktor ekonomi dan orang ketiga yaa Kak Felisia

    BalasHapus
  14. Kekerasan ekonomi ini banyak memicu perceraian. Sekarang ini banyak suami yang menganggur. Artikel ini bagus untuk jadi ide novel tema lokalitas nih Mbak.

    BalasHapus
  15. Aku punya teman anak Bali, perempuan, kami sahabatan sejak kuliah, dan dulu cukup sering diceritain masalah ini. Aku pahamnya kalo perempuan harus berdaya ya dari dia tuh pertama kali (karena keseringan denger cerita dia), jadi kayak nancep gitu. Cuma ke sini-ke sininya, lihat juga kalau hal ini nggak cuma terjadi di Bali sih, masih banyak juga dari kalangan lainnya

    BalasHapus
  16. wah baru tau kalau itu termasuk kekerasan juga ya tentang masalah ekonomi ini. Meski terlihat sensitif dan sangat personal, tapi rasanya kalau sudah keterlaluan, perlu juga diberikan perlindungan hukum ya, masuk ke perihal KDRT

    BalasHapus
  17. kadang takut kalau menemukan fakta seperti ini. tapi aku selalu berdoa semoga diberi lelaki yang bukan cuma penyayang, tetapi pekerja keras dan bertanggung jawab.

    BalasHapus
  18. Wah, aku baru ngerti ada masalah ini. Informasi yg bagus buat menambah awareness. Ternyata kekerasan itu banyak jenisnya, bukan cuma fisik aja ya.

    BalasHapus
  19. Sebagai suami, saya membebaskan istri mau bekerja atau tidak bekerja, asalkan tugas sebagai ibu rumah tangga dan ibadah tidak dilalaikan.

    BalasHapus
  20. Baru tau tentang kekerasan ekonomi ini termasuk dalam bentuk KDRT yaah. Tapi kalau melihat realitanya, mungkin larangan bekerja akan termasuk kedalam kekerasan kalau istrinya menentang atau tidak setuju, kalau setuju mungkin sah sah aja yaa..

    BalasHapus
  21. Tulisannya bagus sekali, mba. Ternyata, budaya patriarki di Bali se-sekental itu ya, saya baru tau. Menurut saya, untuk merubah budaya yang sudah mengakar kuat, sangat sulit diubah.

    BalasHapus
  22. Ya ampun, ini juga bisa dikatakan kekerasan ya, sangat menyedihkan sekali sebetulnya :(

    BalasHapus
  23. Sebenarnya, budaya patriarki ini berlaku di seluruh dunia.
    Kalau lihat drama Korea, China bahkan zaman sebelum Kartini, pastilah kita semua (para wanita) merasakan pahitnya dibedakan karena masalah gender.

    Tapi bukan berarti ketika budaya ini sedikit demi sedikit terkikis, itu berarti baik. Jadi sebaiknya memang wanita itu ada pada kodratnya sehingga tidak diletakkan di bawah atau terlalu di atas.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)