Selasa, 04 April 2023
Sebentar lagi Lebaran, nih. Tentunya pengampunan dan permintaan maaf akan tercurah di hari nan fitri ini, ya. Dalam hari Idulfitri, semua orang berusaha memaafkan dan memulai lagi dari nol.
Soal maaf-memaafkan ini, banyak orang mempercayai kalau
memaafkan artinya sudah melupakan secara tuntas dan simsalabim langsung bisa
sembuh dari trauma. Kalau masih trauma, maka orang langsung ngejudge kalau
orang tadi mendendam dan berdosa.
Dipikir-pikir, ngenes banget kalau ada trauma, ya. Sudah kena dibully, disuruh memaafkan, sudah memaafkan disuruh melupakan, sudah melupakan, eh, masih disuruh siap dibully lagi.
Gimana sih 😅
Apa memang harus begitu?
Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah VT dari Jiemi Ardian, seorang psikiater dan praktisi psikologi. Dalam VT-nya, beliau memaparkan tentang memaafkan dan trauma.
Tentang Memaafkan dan Trauma
Menurut dr. Jiemi Ardian, memaafkan memang kelihatannya
indah, ini adalah konsep tentang melepaskan rasa sakit, tidak terus menuntut
pembalasan atau penghakiman. Memaafkan adalah melepaskan rasa sakit pada diri
kita, bukan orang itu.
Trauma sendiri adalah bagaimana tubuh kita bereaksi terhadap
sebuah kejadian di masa lalu dan reaksi tersebut bertujuan untuk menyelamatkan
diri kita di masa kini.
Dr. Jiemi mengungkapkan, bisa saja kita tidak merasakan rasa
sakit atas amarah dan dendam, tapi, tubuh kita tetap menyimpan reaksi untuk
mencegah hal serupa terjadi di diri kita. Reaksi ini bisa dengan menyerang,
melarikan diri, atau beku/freezing. Tak jarang, walau sudah memaafkan,
traumanya masih ada. Akhirnya, muncullah tuduhan-tuduhan “Kamu tuh nggak
benar-benar maafin!”
Nah, ini perlu diingat: seseorang bisa saja memaafkan,
bahkan melupakan, tapi trauma atau respons tubuh tentang peristiwa masa lalu
itu masih ada. Jadi, kalau mengutip Philia Fate, kesembuhan dari trauma itu
adalah proses yang panjang.
Memaafkan Juga Ada Sisi Negatifnya?
Menurut Amanda Ann Gregory, LCPC dari situs psychologytoday,
ada beberapa unsur negatif yang bisa menghambat kesembuhan trauma.
Memaafkan menihilkan kerugian dan kesalahan pelaku juga tidak menjamin keamanan korban.
Kita kerap diharuskan memaafkan pelaku bahkan siap menerima
perlakuan yang sama tidak masalah apapun kondisi dan dampaknya bagi kita. Ketika
kita mencari dukungan sosial, kita hanya diberitahu “Itu sudah bertahun-tahun
yang lalu, lupakan saja,” dan “Kamu seharusnya tidak merasakan perasaan marah.
Move on lah!” Pesan-pesan ini menunjukkan kurangnya penerimaan dan bahkan
empati dari pihak yang mengatakannya.
Kekerasan yang sering diabaikan:
Kekerasan Verbal juga bisa membunuh orang
Pesan-pesan seperti ini bisa membuat kita merasa seolah-olah
persepsi, emosi, dan pengalaman buruk kita tidaklah sah, salah, atau salah arah.
Saran berikutnya bisa jadi mengatakan kalau rasa sakit dan kemarahan itu tidak
lebih penting dari kemampuan memaafkan pelaku.
Padahal, penerimaan adalah unsur penting untuk menjamin dan
menjaga keselamatan bagi penyintas trauma. Rasa aman dan keselamatan diperlukan
untuk memulihkan dan memproses trauma. Kegagalan atau penolakan untuk menerima
dan mengakui pengalaman hidup para penyintas trauma menciptakan lingkungan dan
hubungan yang merusak kemampuan untuk pulih atau benar-benar "move on".
Memaafkan Fokusnya pada Pelaku, Bukan Korban
Biasanya, memaafkan difokuskan pada memperbaiki hubungan
yang dimiliki penyintas dengan pelakunya. Padahal, pemulihan trauma harus
berfokus pada hubungan korban/penyintas dengan dirinya sendiri.
Perawatan trauma difokuskan pada kebutuhan individual dan
proses internal penyintas. Kalaupun memang penyintas punya hubungan tertentu
yang harus ditangani, penanganannya haruslah dari kebutuhan dan hajat hidup
penyintas.
Nggak menghakimi, sih. Tapi, yakin sanggup hidup melayani orang kayak gini?
Beberapa penyintas mungkin mendapat manfaat dari memaafkan
pelaku, tetapi yang lain mungkin tidak memperoleh manfaat seperti itu, atau
mungkin sebenarnya merasa perlu untuk menahan pengampunan - dan kedua sikap
tersebut perlu diterima dengan respek dan empati.
Sikap sesuai moral biasanya akan menjadi kontra-terapi
karena cenderung memusatkan pada pelaku dengan mengorbankan korban. Tak jarang,
perlakuan ini menyiratkan korbanlah yang bertanggung jawab, bahkan kegagalan
memperpanjang masa mengampuni adalah salah, hingga mengalihkan perhatian dan
kesalahan dari pelaku dan perbuatan pelaku yang menyebabkan trauma ke korban
yang seharusnya memaafkan dan sembuh secara instan.
Memaafkan Mendukung Sikap Diam
Saat penyintas ditekan untuk memaafkan, penyintas mungkin
merasa seolah-olah tidak perlu atau tidak seharusnya terus membagikan atau
mengeksplorasi narasi kita. Ini ternyata menghambat kemampuan untuk memproses dan memulihkan. Selain itu,
sikap-memaafkan seperti ini dapat menghambat kemampuan atau kemauan korban
untuk melaporkan pelaku, karena mencari pertanggungjawaban yudisial,
pembenaran, atau hukuman sering dianggap bertentangan dengan “esensi”
sikap-memaafkan.
Memaafkan adalah Menghindari Pemulihan
Memaafkan biasanya menjadi jalan pintas yang tidak selalu
merupakan hal baik. Perawatan trauma secara emosional, dan terkadang secara
fisik, biasanya menyakitkan. Untuk menghindari rasa sakit akibat trauma, orang mungkin
memaksakan diri untuk memaafkan pelaku dengan harapan dampak trauma akan
hilang. Namun, kelegaan yang dialami biasanya bersifat sementara, kalaupun ada.
Seperti yang ditulis Rosenna Bakari, “Mencoba menghentikan rasa sakit dengan
memaafkan adalah seperti memasukkan sekotak campuran kue ke dalam oven dan
berharap mendapatkan kue. Itu tidak berhasil, dan kamu bisa membakar rumahmu.”
Singkatnya, kita harus mencampur semua bahan sebelum mencoba membuat kue, dan
pemulihan trauma melibatkan banyak bahan yang menyakitkan seperti pengalaman
kesedihan yang mendalam, kemarahan, rasa malu, ketakutan, dan sensasi tubuh yang
tidak nyaman.
Apakah Memaafkan Artinya Siap Dibully Lagi?
Saat kita memaafkan, hal itu membuat kita terbuka dan rentan lagi. Namun memaafkan seseorang tidak berarti siap dibully lagi oleh pelaku - atau orang lain. Kita bisa memaafkan tetapi kita tidak membiarkan orang itu terus menyakiti kita. John Townsend menyebut ini "persembunyian yang membantu." Dia mengatakan kita perlu "menetapkan batasan yang tepat pada orang yang tidak bertanggung jawab atau keegoisan orang lain ... bersembunyi bisa menjadi hal yang paling peduli dan bertanggung jawab untuk dilakukan dalam banyak situasi". Dia menggambarkan persembunyian sebagai: "Menetapkan batasan verbal dan fisik yang mungkin melibatkan mengatakan tidak atau secara wilayah meninggalkan kamar atau rumah dan meminta bantuan". (Sumber: “Hiding From Love” – John Townsend – Nav Press – Diterbitkan 1991 – halaman 143)
Kita perlu membangun batasan sehat yang membiarkan yang baik masuk dan mencegah yang buruk keluar. Ini mungkin berarti menjauhkan pelaku – dan orang tidak sehat lainnya dari hidup. Jika pelaku adalah anggota keluarga dekat, kita mungkin memerlukan bantuan dan dukungan dalam hal ini. Ini terutama jika keluarga tidak mempercayai kita.
Konfrontasi dan Rekonsiliasi
Jika teman-teman berpikir untuk mengonfrontasi pelaku,
sebaiknya pikirkan dengan hati-hati tentang bagaimana kalian akan mengatasi
dampak setelahnya. Konfrontasi jarang mengarah pada pengakuan atas bullying
tersebut. Hampir semua pelaku menyangkal melakukan bullying. Konfrontasi hanya
boleh dilakukan dengan sangat hati-hati dan banyak dukungan dari luar untuk
sebelum dan sesudah konfrontasi.
Ada perbedaan besar antara memaafkan seseorang dan
rekonsiliasi dengan mereka. Satu-satunya kesempatan nyata untuk memulihkan
hubungan dengan pelaku kekerasan adalah jika mereka benar-benar menunjukkan
tanda-tanda berubah dan bertanggung jawab.
Ciri-ciri rekonsiliasi bisa dilakukan:
Wah, ternyata walaupun memaafkan adalah konsep yang sangat
indah dan memang ada yang mendapat manfaat dari memaafkan ini, memaafkan
bukanlah komponen satu-satunya dalam penyembuhan trauma, ya.
Semoga artikel ini bermanfaat hingga kita tidak menghakimi
orang lain maupun diri sendiri karena belum sembuh dari trauma. Yang sedang trauma, semoga lekas sembuh 💓
Referensi:
https://www.intothelight.org.uk/core-issues-abuse-forgiveness/
https://www.psychologytoday.com/us/blog/simplifying-complex-trauma/202202/why-forgiveness-isn-t-required-in-trauma-recovery
Kalau sudah berurusan dengan trauma, belum tentu semua orang bisa selesai dengan memaafkan. Namun setidaknya dengan memaafkan kita sudah mendapatkan kemenangan. Karena memaafkan adalah hal mulia. Tapi tetap juga kalau traumanya berkepanjangan, harus konsultasi dan terapi
BalasHapusmemaafkan tidak selalu mudah dilakukan, terutama jika trauma tersebut sangat merusak atau menghancurkan. Beberapa orang mungkin memerlukan bantuan profesional dalam proses memaafkan trauma, seperti terapi atau konseling.
BalasHapusSoal maaf memaafkan, memang menurut saya yang paling menderita yang pernah tersakiti ya, Mbak. seperti penjelasan di atas. Sudah disakiti, diharuskan memaafkan lagi. Malah ada yang ngomong. Tuhan saja memaafkan, masa kamu tidak?
BalasHapusPadahal banyak orang menggunakan maaf sebagai tameng untuk melukai seseorang. kan, nanti gampang tinggal mint maaf.
Iya nih setuju sama mas Bambang. Orang enak aja bilang "Tuhan saja memaafkan, masa kamu tidak?"...Bikin emosi deh...Kadang kita memaafkan, tapi masih keinget terus kejahatannya...Nah, ini udah memaafkan atau belum?
HapusKalo memaafkan sih masih bisa. Tapi kalo melupakan trauma masa lalu nih kadang susah. Atau kadang ada yg bs melupakan tapi ga pernah bisa memaafkan. Trauma emg bikin kekuatan mental kita goyah sih.
BalasHapusMemang hal yang paling sulit dari manusia adalah memaafkan. apalagi memafkan orang yang pernah nyakitin kita. MEmang butuh proses juga bisa memafkan seseorang..
BalasHapusMemaafkan salah satu cara berdamai dengan diri sendiri dan satu langkah dalam proses penyembuhan trauma. Bukan tentang orang yg ngebully tapi lebih kepada diri sendiri kalau menurut saya. Bakal tetap ada jarak dengan mereka yg pernah menggoreskan luka.
BalasHapusProses memaafkan memang bukan perkara yang mudah. Bagi saya pribadi yang memang pernah di posisi sebagai korban bullying, memaafkan memang butuh waktu yang tak sebentar, bukan hanya tentang memberi maaf, tetapi lebih ke berdamai dengan diri sendiri
BalasHapusmungkin ya, konteks memaafkannya bisa dilihat kasusnya dulu. kalo seperti bulying ya tentu tidak bisa sekadar memaafkan saja. ada tahapan yang harus diselesaikan karena sudah masuk ranah hukum. tapi kalo kasusnya internal atau pribadi person to person seperti sikap toxic atau menghadapi ortu yang toxic hingga perceraian, memaafkan jadi proses healing juga. meski gak mudah dan butuh waktu cukup lama, tapi dengan memaafkan traumanya tidak terasa begitu berat. gak hilang ya, hanya jadi bisa lebih jadi person yang positif aja. ini based on pengalaman ya, hehe
BalasHapusGa semua orang bisa memaafkan menghilangkan trauma.
BalasHapusApalagi trauma itu yg bikin hati kita sakit banget, pasti butuh wkt yg lama untuk menyembuhkan nya.
Dalam beberapa hal memaafkan adalah hal yang baik dan membuat kita berdamai dengan situasi dan kondisi. Tapi disatu sisi memaafkan juga memang bis amenjadi trigger si pelaku untuk tidak berubah. Solusinya mungkin bisa memaafkan dalam hati, tapi kita berhak wajib menuntuk agar proses rekonsiliasi oleh si pelaku tetap wajib dijalankan, jangan merasa kasihan
BalasHapusBegitulah, Fel. Kita sering dituntut memaafkan pelaku. Pelakunya minta maaf nggak? Pelakunya berubah nggak? Pelakunya dihukum nggak? Masyarakat sekitar minta maaf nggak karena udah bikin korban makin trauma?
BalasHapuspersoalan tentang memaafkan dan trauma ini emang cukup rumit ya, Kak. apalagi pelaku dengan semena-mena tak merasa bersalah dngan tingkah lakunya itu sih, mentolo kirim santet ae -_-
BalasHapusMemaafkan memang tidak mudah. Tapi itu bisa menjaga hati kita untuk tidak melakukan hal-hal yang lebih buruk. Dan memaafkan juga bukan berarti pelaku dibiarkan bebas tanpa dimintai tanggung jawab.
BalasHapusMemaafkan memang mulia, tapi terkadang bukan satu-satunya cara untuk memulihkan trauma. Butuh kesiapan dan jangka waktu lama untuk bisa menyembuhkan trauma.
BalasHapusPenyembuhan trauma bukan dari memaafkannya tapi bagaimana bisa berdamai dengan diri dan menerima keadaan. Ini memang gak mudah ya kak
BalasHapusTerkadang memang yang terjadi di kebanyakan kasus. Orang-orang lebih banyak menuntut kita untuk memaafkan pembully. Sementara mereka mah dibiarkan saja gitu.Padahal kalau sudah ngomongin trauma tuh rumit kan.
BalasHapusMaaf memaafkan memang sesuatu yang dianggap "indah" walau sebenarnya seringnya malah menjadi tameng bagi si pelaku untuk menganggap masa lalu yang diperbuatnya bisa dilupakan. Padahal trauma itu nggak serta-merta pulih setelah saling memafkan terutama bagi korbannya. Semoga maaf memaafkan nggak selalu dianggap jalan yang indah.
BalasHapusPaling berat menurutku sih memang bagian melupakan. Kalau memaafkan perbuatannya sih sudah, merupakan orang yang melakukan kesalahan itu yang agak susah
BalasHapusMemaafkan memang sudah menganggap 'selesai' semua konflik yang ada. Tapi tentang trauma, tak semudah itu. Ada beberapa tahapan untuk proses sembuh dari trauma.
BalasHapusTerima kasih. Tulisan ini memberi semangat bagi saya untuk menyembuhkan trauma dan dendam akibat pernah disakiti. Ternyata dengan memaafkan membuat sikap diam kita jadi bermakna. Meski sulit, saya akan tetap berusaha untuk memaafkan sampai trauma itu sembuh. Bismillah
BalasHapusBetul, trauma belum tentu hilang dengan cara korban memaafkan si pelaku
BalasHapusKalau menurutku sih yang pernah aku alami memang memaafkan bisa menyembuhkan trauma. Tapi, kita sendiri pun harus berjuang agar gak ingat lagi dengan trauma-trauma itu. Bagian memaafkan justru mudah, tapi menghilangkan trauma yang susah.
BalasHapusyang aku rasain, iya. tapi memang proses memaafknnya juga susah hehe.. gak cuma di bibir saja bilang maaf ya, harus bener-bener memaafkan itu yang masih suka lupa konsepnya hehe
BalasHapusmemaafkan itu butuh proses, kok ya masih harus dibully segala, gak habis pikir deh jika ada orang yang udah memaafkan orang lain yang bersalah namun masih juga dibully, duuhh gemes dah.
BalasHapusaku belajar banget sih kalau memaafkan tuh bagian terpenting dari kebahagiaan diri sendiri juga. karena dendam yang dibawa di hati lama-lama juga cuma bikin kita menderita
BalasHapussemakin dewasa, ternyata memaafkan itu nggak semudah salaman sama teman ya mbak. aku pun merasakan hal yang sama. trauma2 karena kejadian di masa lalu, ternyata nggak hilang meskipun sudah ada permintaan maaf :(
BalasHapusItu makanya kan dibilang, kalau memaafkan itu adalah ilmu tingkat tinggi. Tapi memaafkan itu sebenarnya menyelamatkan diri sendiri biar tak sampai luka batin. Hanya ya itu, klo bisa sih jangan sampai berhubungan kembali
BalasHapusSebenarnya engga mudah sih untuk memaafkan langsung hilangkan trauma. Kadang butuh proses juga seiring berjalannya waktu.
BalasHapusmenurutku bisa kak, tapi kembali lagi ke orangnya karena tidak semua trauma bisa hilang hanya dengan kata "maaf", butuh pendampingan psikologis dan kejiwaan agar benar-benar bisa melupakan trauma itu,
BalasHapus