Senin, 10 Juni 2024
Bagaimana cara memaafkan trauma? Apakah dengan cara memaksakan diri mengampuni pelaku kemudian siap dibully kembali? Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih jauh tentang konsep memaafkan dan konsep trauma plus mengapa kita tidak harus memaksa diri memaafkan seseorang.
Banyak orang yang mengartikan dengan sebuah kata maaf, semua masalah sudah beres hingga ke akar-akarnya. Orang-orang mempercayai memaafkan artinya sudah melupakan permasalahan yang terjadi antara keduanya. Dan secara ajaib, trauma yang terjadi sebelumnya lenyap dalam sekejap mata. Tak jarang cap pendendam akan langsung disematkan pada mereka yang masih merasakan trauma tersebut. Bisa dimaklumi karena orang awam bahkan tidak mau belajar memahami emosi padahal hal ini adalah hal dasar dari konsep memaafkan dan berbagai hal lainnya.
Bila kita teliti lagi, bukankah sangat aneh posisinya menjadi berbalik. Si pemberi maaf, berganti menjadi pendosa karena masih merasakan trauma dari kejadian yang dialaminya. Ibaratnya, sudah mendapatkan masalah (dirudung), lalu diharuskan untuk memaafkan, kemudian wajib untuk melupakan semua hal-hal buruk yang dialami serta bersikap baik. Bahkan sering pula terjadi, mengalami perudungan lagi. Karena hal ini, kadang saran dari ahli agama seringkali membuat korban bukannya sembuh tapi malah makin parah. Maklum, sudah jadi korban, masih juga diberi ayat "Saat ditampar pipi kirimu berikan juga pipi kananmu" secara literal.
Aneh? Tapi itulah yang sering terjadi. Apakah sudah seharusnya begitu?
Pencarian mengenai memaafkan dan trauma ini membawa saya pada sebuah VT
dari dr. Jiemi Ardian, seorang psikiater dan praktisi psikologi. Dalam VT-nya,
beliau memaparkan tentang memaafkan dan trauma.
Tentang Konsep Memaafkan dan Konsep Trauma
Menurut dr. Jiemi Ardian, memaafkan memang kelihatannya indah. Ini
adalah tentang konsep melepaskan rasa sakit, tidak lagi terus menuntut
pembalasan atau penghakiman. Memaafkan adalah melepaskan rasa sakit pada diri
kita, bukan orang lain.
Di sisi lain, trauma adalah bagaimana tubuh kita bereaksi terhadap
sebuah kejadian di masa lalu. Dan reaksi itu bertujuan untuk menyelamatkan diri
kita di masa kini.
Dari penjelasan dr. Jiemi tubuh kita secara alami tetap menyimpan reaksi
untuk mencegah hal serupa terjadi di diri kita lagi. Meski kita bisa saja tidak
merasakan rasa sakit atas amarah dan dendam. Reaksi yang muncul ini bisa dengan
menyerang, melarikan diri, atau beku/freezing. Tak jarang, meski telah
memaafkan, trauma itu masih ada. Ketika si korban masih merasakan trauma
tersebut, lahirlah tuduhan, “Kamu nggak benar-benar maafin!”
Perlu digaris bawahi, seseorang bisa saja memaafkan, juga melupakan,
tapi trauma atau respon tubuh akan peristiwa lampau masih ada. Menurut teman penulis, Phillia
Fate, kesembuhan dari trauma adalah proses yang panjang.
Sisi Negatif Memaafkan.
Amanda Ann Gregory, LCPC dari situs psychologytoday mengungkapkan, ada beberapa unsur negatif yang bisa menghambat kesembuhan trauma. Memaafkan menihilkan kerugian yang dialami dan menghapus kesalahan pelaku, tapi tidak menjamin keamanan korban.
Kita diharuskan memaafkan pelaku, membalas dengan kebaikan bahkan siap menerima perlakuan yang sama lagi apapun kondisi dan dampaknya. Saat korban/penyintas mencari dukungan, yang muncul malah ucapan-ucapan yang membuat diri kian jatuh.
“Itu hal yang sudah terjadi begitu lama, bertahun-tahun yang lalu dan
kamu masih mengingatnya? Sudahlah, lupakan saja.” Atau “Kamu tidak seharusnya
marah. Come on, move on lah.”
Respon-respon seperti ini menunjukkan betapa kurangnya penerimaan, pemahaman
bahkan empati pada orang yang mencari dukungan atau perlindungan.
Ucapan-ucapan itu, bisa membuat kita merasa seakan-akan persepsi, emosi
dan pengalaman buruk yang dialami tidaklah sah, atau salah arah. Juga,
menyatakan kalau rasa sakit atau kemarahan kita tidak lebih penting dari kemampuan
untuk memaafkan pelaku.
Padahal, penerimaan merupakan unsur penting untuk menjamin serta menjaga
keselamatan bagi penyintas trauma. Untuk dapat memulihkan dan memproses trauma,
diperlukan rasa aman dan keselamatan. Kegagalan atau penolakan untuk menerima
dan mengakui pengalaman hidup para penyintas trauma menciptakan hubungan dan
lingkungan yang merusak kemampuan untuk pulih juga benar-benar “move on”.
Memaafkan Fokusnya pada siapa? Pelaku atau Korban?
Memaafkan biasanya berfokus pada ‘keharusan’ menjalin dan memperbaiki
kembali hubungan baik yang dimiliki penyintas dan pelaku. Bukankah, untuk
pemulihan trauma sewajarnya lebih berfokus pada hubungan korban/penyintas
dengan dirinya sendiri.
Perawatan trauma difokuskan pada kebutuhan individual dan proses
internal penyintas. Jika memang ada hubungan tertentu yang harus ditangani,
penanganannya haruslah dari kebutuhan dan hajat hidup penyintas.
Baca juga:
Pentingnya mengetahui tentang BOUNDARIES
Tak dapat kita pungkiri, beberapa penyintas mungkin mendapatkan manfaat
dari memaafkan pelaku. Ada juga yang merasa hal itu sia-sia, bahkan merasa
perlu menahan pengampunan. Kedua sisi sikap itu tentunya seharusnya diterima
dengan respek dan empati.
Sikap yang berfokus pada moral, biasanya dapat menjadi kontra-terapi.
Karena cenderung memusatkan pada pelaku dengan mengorbankan korban. Perlakuan
ini tak jarang menyiratkan kalau korbanlah yang bertanggung jawab. Bahkan
kegagalan untuk lebih cepat mengampuni adalah kesalahan besar, sehingga masyarakat
berbalik mengarahkan mata panah mereka. Mengalihkan posisi dari pelaku menjadi
korban, dan korban menjadi si pelaku yang terlalu picik dan terus mengungkit
masa lalu serta tidak bisa membuka pintu maaf.
Memaafkan = Mendukung Sikap Diam
Ketika penyintas ditekan untuk memaafkan, dia mungkin merasa seakan-akan
tidak seharusnya atau tidak perlu membagikan/mengeksplorasi narasi rasa yang
dialaminya. Hal ini tidak hanya menghancurkan jiwa penyintas, tapi tentu saja
menghambat kemampuan untuk berproses dan memulihkan diri dari self guilty. Tak hanya itu saja
efek yang dialami. Hal ini juga menghambat kemampuan atau kemauan korban untuk
melaporkan pelaku, karena mencari pertanggungjawaban yudisial, pembenaran atau
hukuman dianggap bertentangan dengan “esensi” sikap-memaafkan.
Memaafkan adalah Menghindari Pemulihan
Memaafkan biasanya menjadi jalan pintas yang tidak selalu merupakan hal baik dan tepat. Perawatan trauma secara emosional dan terkadang secara fisik, biasanya panjang dan menyakitkan. Kadang kala untuk menghindari rasa sakit tersebut, orang memaksakan diri untuk memaafkan pelaku dengan harapan dampaknya akan segera hilang. Ada keinginan dan harapan semu bahwa dengan memaafkan, maka trauma itu pun akan lenyap.
Namun, nyatanya, kelegaan yang dialami seringkali hanya bersifat
sementara. Rosenna Bakari menuliskan, “mencoba menghentikan rasa sakit dengan
memaafkan adalah seperti memasukkan sekotak campuran kue ke dalam oven dan
berharap mendapatkan kue. Itu tidak berhasil, dan kamu bisa membakar rumahmu.”
Sepatutnya, kita mencari tahu cara pembuatan, lalu mencampur terlebih
dahulu semua bahan-bahan sebelum mencoba memasukkannya ke dalam oven untuk
membuat sebuah kue yang lezat. Pemulihan trauma, juga hampir sama seperti itu.
Perlu tahap-tahap, dan melibatkan banyak bahan yang menyakitkan seperti
pengalaman, kesedihan yang mendalam, kemarahan, rasa malu, ketakutan dan
sensasi tubuh yang tidak nyaman.
Apakah Memaafkan Artinya Siap Dibully lagi?
Ada masa di mana saat kita memaafkan seseorang, kita menjadi lebih
rentan, terbuka dan menaruh harap. Dan masa-masa itu, terkadang ada yang memanfaatkan
kerentanan diri dari penyintas. Karena itu, Korban/Penyintas harus memahami dan
menerapkan pada dirinya, bahwa memaafkan bukan berarti dia harus memaklumi
semua perlakuan dari pelaku atau dengan kata lain dia siap menerima perudungan
lagi oleh pelaku atau orang lain. Kita bisa memaafkan, tetapi tidak membiarkan
orang itu atau siapapun terus menyakiti diri kita.
John Townsend menyebut ini “Persembunyian yang membantu”. Dikatakan “Kita
harusnya menetapkan batasan yang tepat pada orang yang tidak bertanggung jawab
atau keegosian orang lain ... bersembunyi bisa menjadi hal yang paling peduli
dna bertanggung jawab untuk dilakukan dalam banyak situasi”. Dia menggambarkan
persembunyian sebagai: “Menetapkan batasan verbal dan fisik yang mungkin
melibatkan mengatakan tidak atau secara wilayah meninggalkan kamar atau rumah
atau meminta bantuan”. (Sumber: “Hiding From Love” – John Townsend – Nav Press
– Diterbitkan 1991 – halaman 143).
Batasan sehat harus kita tetapkan, membiarkan yang baik masuk dan
mencegah yang buruk mendekat. Ini bisa saja berarti menjauhkan pelaku – dna
orang-orang ‘tidak sehat’ lainnya dari hidup. Jika pelaku adalah anggota
keluarga dekat, bisa jadi kita membutuhkan bantuan dan dukungan lainnya dalam
hal ini. Terutama jika anggota keluarga tidak memercayai kita.
Konfrontasi dan Rekonsiliasi
Kenapa tidak langsung mengkonfrontasi pelaku saja? Pasti pikiran tersebut terlintas disebagian korban. Ada hal-hal dan dampak setelahnya yang harus dipikirkan dengan hati-hati dalam setiap tindakan yang diambil. Konfrontasi jarang mengarah pada perlakuan atas bullying tersebut. Hampir semua pelaku menyangkal perbuatan mereka, bahkan tak jarang ada yang berbalik menuduh. Konfrontasi hanya boleh dilakukan dengan sangat hati-hati dan tertata dengan banyak dukungan dari sekitar dan luar sebelum dan sesudah konfrontasi.
Terdapat perbedaan besar antara memaafkan seseorang dengan rekonsiliasi
dengan mereka. Tetapi, kita tidak juga menutup mata pada keinginan tulus dari
sisi pelaku yang ingin memperbaiki diri. Bisa dikatakan satu-satunya kesempatan
nyata untuk memulihkan hubungan dengan pelaku kekerasan adalah jika dia
benar-benar menunjukkan perubahan sikap, tutur kata dan bertanggung jawab.
Ciri-ciri rekonsiliasi bisa dilakukan:
Ternyata memaafkan itu bukanlah hal yang sederhana. Dan bisa kita simpulkan walaupun memaafkan adalah konsep yang sangat indah dan memang ada yang mendapatkan manfaat dari memaafkan, tetapi memaafkan pelaku bukanlah satu-satunya komponen dalam penyembuhan trauma.
Jika ada sahabat, keluarga, orang di sekitar kita atau bahkan kita
sendiri yang masih berjuang dalam menyembuhkan trauma jangan dihakimi ya.
Pahami dan beri dukungan, mulailah dari diri sendiri, untuk kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Terima kasih telah berkunjung ke blog ini. Mohon tidak mengcopas isi artikel tanpa izin. Jika berkenan, silakan tinggalkan komentar dengan sopan. Diharapkan untuk tidak mengirimkan link hidup dalam komentar. Terima kasih atas perhatiannya :)